(Lanjutan : Putusan Hakim)
Setiap perkara perdata dilatar belakangi oleh ketidak puasan seseorang atau beberapa orang (pihak penggugat) terhadap seseorang atau beberapa orang lain (pihak tergugat), yang menurut pihak penggugat ada hak-haknya yang telah dilanggar oleh pihak tergugat, atau ada kewajiban tergugat kepada penggugat yang tidak dilaksanakan oleh tergugat.
Penggugat karena telah berkali-kali meminta haknya kepada tergugat, tidak juga berhasil kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan, dengan harapan Hakim dapat mengembalikan hak penggugat atau menghukum tergugat memenuhi kewajibannya.
Kemudian Hakim dibebani kewajiban untuk dapat mendamaikan para pihak melalui jalur mediasi, dan boleh jadi para pihak menunjuk mediator yang bukan Hakim atau orang lain di luar Pengadilan.
Lain hal dengan Pengadilan di Jepang, masyarakat lebih memilih mengajukan permohonan minta didamaikan oleh Pengadilan (Permohonan konsiliasi/Cote) bukan mengajukan gugatan, dan umumnya berhasil. Persidangan konsiliasi/Cote dipimpinoleh seorang Hakim dan didampingi oleh dua orang konsiliator, dua orang konsiliator tersebut ada diantaranya pensiunan Hakim, atau Pengacara yang kawakan, atau dokter ahli, atau ahli pertanahan, tokoh masyarakat, dlsb. Para konsiliator diberi honor oleh Pemerintah Jepang. Ada juga perdamaian yang terjadi di Pengadilan Jepang berdasarkan gugatan, dan hasil perdamaiannya disebut Wakai.
Mahkamah Agung dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2003 memakai system mediasi, hal itu yang akan dibahas dalam Bab berikutnya.
Pengadilan telah memanggil pihak-pihak untuk bersidang, kemudian para pihak atau wakilnya datang menghadap, maka Ketua Majelis Hakim wajib menunda persidangan guna menempuh perdamaian dengan para pihak menunjuk mediator, boleh jadi kesepakatan para pihak atau wakilnya untuk menunjuk salah seorang Hakim di Pengadilan atau Panitera / Panitera Pengganti, atau orang lain di luar daftar mediator yang ada di Pengadilan. Perhal tentang mediasi adalah menggali kehendak UU (Pasal 30 HIR / Pasal 154 R.Bg)
Praktek yang telah lama berjalan, adalah Upaya Majelis Hakim menasehati pihak-pihak berperkara dalam persidangan pertama tersebut, kemudian menawarkan kepada para pihak atau wakilnya agar mau menyelesaikan sengketanya secara damai. Proses menasehati dan menawarkan perdamaian inilah yang menurut pandangan Mahkamah Agung, sebagai upaya yang belum sungguh-sungguh pelaksanaannya oleh Majelis Hakim Pengadilan Tingkat Pertama, dan oleh karenanya lahirlah PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tersebut. “Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator”.
Dari pengertian mediasi sebagaimana tersebut diatas, mengandung makna, yakni para pihak diharapkan dapat mencapai kesepakatan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak melalui jalur perundingan dengan dibantu oleh seorang mediator. Dengan adanya kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak diharapkan dapat meminimalisir terbuangnya waktu serta biaya yang akan dikeluarkan oleh mereka dalam menyelesaikan sengketa.
Beberapa hal yang harus mendapat perhatian penuh dari pimpinan pengadilan, antara lain :
- Telah memiliki daftar mediator;
- Menyediakan tempat untuk pelaksanaan mediasi;
Pada prinsipnya apabila para pihak atau wakilnya hadir dalam persidangan pertama, kemudian majelis hakim berupaya menasehati dan mengarahkan para pihak agar memilih penyelesaian secara damai, maka jika para pihak sepakat untuk berdamai dan minta kepada Pengadilan agar menerbitkan akta perdamaian, Pengadilan cukup sekali bersidang pada hari itu saja dengan produk akta perdamaian. Sekiranya para pihak sepakat untuk membuat perdamaian sendiri di luar persidangan dan penggugat mencabut gugatannya, hal tersebut juga dibolehkan. Bedanya produk Pengadilan berupa akta perdamaian, sengketa kedua belah pihak benar-benar berakhir, sudah tidak dimungkinkan lagi untuk diajukan kembali ke Pengadilan manapun, baik tingkat pertama, banding maupun kasasi, hal demikianlah yang dimaksudkan dengan pasal 130 ayat (1) HIR / pasal 154 ayat (1) R.Bg jo. Pasal 130 ayat (3) / pasal 154 ayat (3) R.Bg jo. Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1985.
Sedangkan perdamaian antara kedua belah pihak yang terjadi di luar persidangan pengadilan, biasa disebut dengan istilah “dading”. Perdamaian dading mengikat kedua belah pihak yang berdamai, diharapkan keduanya tunduk dan mematuhi isi kesepakatan yang mereka perbuat, tetapi jika salah satupihak tidak mau melaksanakan isi kesepakatan tersebut, maka pihak yang merasa dirugikan tidak dapat memohon kepada Pengadilan untuk dieksekusi, dan sekalipun surat perdamaian tersebut dibuat dihadapan Notaris. Yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan baru.
“Segala perdamaian diantara para pihak mempunyai suatu kekuatan suatu putusan Hakim dalam hukum yang penghabisan, tidak dapatlah dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai hukum atau dengan alasan salah satu pihak dirugikan “ (Pasal 1858 KUHPerdata).
Bila upaya perdamaian tersebut tidak berhasil, barulah ditempuh upaya mediasi :
- Ketua atau Anggota Majelis tidak diperbolehkan bertindak sebagai mediator.
Problemnya : di lingkungan Peradilan Agama, Hakim masih sangat terbatas, para pihak sepakat Hakim A lah yang mereka sukai sebagai penengah, padahal Hakim A adalah Ketua atau Anggota Majelis perkara tersebut. Perlu ada pengecualian untuk Pengadilan Agama yang masih kekurangan tenaga Hakim. - Mediator harus telah memiliki “sertifikat”.
Problemnya : persyaratan tersebut tidak tercantum dalam definisi mediator. Pasal 1 ayat (5) menyatakan :”Mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa”. Menurut hemat penulis, upaya perdamaian yang telah dicanangkan sejak Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002, kemudian diganti dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, perlu segera ditindaklanjuti dengan mempedomani PERMA tersebut, dan ketentuan keharusan menunggu adanya pensertifikatan, justru menghambat pelaksanaan mediasi, perlu adanya terobosan bagi Pengadilan guna mengatasi hambatan tersebut, dengan berpatokan kepada definisi mediator tersebut diatas.
Adapun beberapa prinsip dari lembaga mediasi, adalah:
1. Pada prinsipnya mediasi bersifat sukarela
Pada prinsipnya inisiatif pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi tunduk pada kesepakatan para pihak. Hal ini dapat dilihat dari sifat kekuatan mengikat dari kesepakatan hasil mediasi didasarkan pada kekuatan kesepakatan berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata. Dengan demikian pada prinsipnya pilihan mediasi tunduk pada kehendak atau pilihan bebas para pihak yang bersengketa. Mediasi tidak bisa dilaksanakan apabila salah satu pihak saja yang menginginkannya.
Pengertian sukarela dalam proses mediasi juga ditujukan pada kesepakatan penyelesaian. Meskipun para pihak telah memilih mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa mereka, namun tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menghasilkan kesepakatan dalam proses mediasi tersebut. Sifat sukarela yang demikian didukung fakta bahwa mediator yang menengahi sengketa para pihak hanya memiliki peran untuk membantu para pihak menemukan solusi yang terbaik atas sengketa yang dihadapi para pihak. Mediator tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan sengketa yang bersangkutan seperti layaknya seorang hakim atau arbiter. Dengan demikian tidak ada paksaan bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan cara mediasi.
Dalam hukum di Indonesia, praktek mediasi pada umumnya juga didasarkan pada pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Dalam konteks sengketa konsumen pengguna mediasi bersifat sukarela sebagaimana diatur dalam pasal 45 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1999 yang berbunyi:
“Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa”.
2. Lingkup sengketa pada prinsipnya bersifat keperdataan
Jika dilihat dari berbagai peraturan setingkat Undang-undang yang mengatur tentang mediasi di Indonesia dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya sengketa-sengketa yang dapat diselesaikan melalui mediasi adalah sengketa keperdataan. Pasal 30 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup. Demikian pula pada pasal 75 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan sebagaimana dirubah dengan UU No. 19 Tahun 2004 mengatakan penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU kehutanan tersebut. UU No. 30 Tahun 1999 meskipun tidak tegas seperti kedua UU terdahulu, namun dari ketentuan pasal 5 ayat (1) berbunyi: “sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan perundang-undangan dikuasai oleh pihak yang bersengketa”, dapat dipahami bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa perdagangan dan sengketa hak yang bersifat keperdataan saja.
3. Proses sederhana
Sifat sukarela dalam mediasi memberikan keleluasaan pada pihak untuk menentukan sendiri mekanisme penyelesaian sengketa mediasi yang mereka inginkan. Dengan cara ini, para pihak yang bersengketa tidak terperangkap dengan formalitas acara sebaimana dalam proses litigasi. Para pihak dapat menentukan cara-cara yang lebih sederhana dibandingkan dengan proses beracara formal di Pengadilan. Jika penyelesaian sengketa melalui litigasi dapat selesai bertahun-tahun, jika kasus terus naik banding, kasasi, sedangkan pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi lebih singkat, karena tidak terdapat banding atau bentuk lainnya. Putusan bersifat final and binding yang artinya putusan tersebut bersifat inkracht atau mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Istilqh “final” berarti putusan tersebut tidak membutuhkan upaya hukum lanjutan. Pengertian “mengikat” atau “Binding” adalah memberikan beban kewajiban hukum dan menuntut kepatuhan dari subjek hukum. Di dalam Hukum Acara Perdata dikenal teori res adjudicate pro veritare habetur, yang artinya apabila suatu putusan sudah tidak mungkin diajukan upaya hukum, maka dengan sendirinya putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde) dan oleh karenanya putusan tersebut mengikat para pihak yang bersengketa.
Sebagai konsekuensi cara yang lebih sederhana ini, maka mediasi sering dianggap lebih murah dan tidak banyak makan waktu jika dibandingkan dengan proses litigasi atau berperkara di Pengadilan.
4. Proses mediasi tetap menjaga kerahasiaan sengketa para pihak
Mediasi dilaksanakan secara tertutup sehingga tidak setiap orang dapat menghindari sessi-sessi perundingan mediasi. Hal ini berbeda dengan badan peradilan dimana sidang umumnya dibuka untuk umum. Sifat kerahasiaan dari proses mediasi merupakan daya tarik tersendiri, Karena para pihak yang bersengketa pada dasarnya tidak suka jika persoalan yang mereka hadapi dipublikasikan kepada umum.
5. Mediator bersifat menengahi
Dalam sebuah proses mediasi, mediator menjalankan peran untuk menengahi para pihak yang bersengketa. Peran ini diwujudkan melalui tugas mediator yang secara aktif membantu para pihak dalam memberikan pemahamannya yang benar tentang sengketa yang mereka hadapi dan memberikan alternative solusi yang terbaik bagi penyelesaian sengketa diajukan mediator sepenuhnya berada dan ditentukan sendiri oleh kesepakatan para piha yang bersengketa. Mediator tidak dapat memaksakan gagasannya sebagai penyelesaian sengketa yang harus dipatuhi.
Prinsip ini kemudian menuntut mediator adalah orang yang memiliki pengetahuan yang cukup luas tentang bidang-bidang terkait yang dipersengketakan oleh para pihak.
Bila diperhatikan berbagai macam cara untuk penyelesaian sengketa memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing, misalnya pencapaian consensus bersama yang terjadi dalam Hukum Adat Indonesia, di samping menyelesaikan sengketa tertentu, juga membantu membangun dan melindungi komunitas, tetapi kadang kala yang muncul dalam upaya untuk memperoleh kesepakatan hanya berupa bentuk pemaksaan yang terselubung, yaitu para pihak yang bersengketa dipaksa menyetujui demi kepentingan pihak komunitas. Pada beberapa kasus seperti ini, kebutuhan dan kepentingan pihak yang bersengketa mungkin tidak terpenuhi sama sekali. Hal ini tentunya merugikan pihak yang bersengketa.
Tugas mediator telah diatur di dalam Bab III PERMA Nomor 2 Tahun 2003, ada beberapa hal yang tidak diatur di daalam PERMA. Menurut hemat penulis perlu ditempuh oleh para mediator, yaitu antara lain:
Tugas pertama seorang mediator: adalah memberikan nasehat dan mengarahkan para pihak atau wakilnya agar mau menyelesaikan sengketanya secara damai, setelah selesai memberikannasehat atau pengarahan, kemudian pihak tergugat dipersilahkan menunggu di luar ruangan dan mediator melanjutkan dengan memberikan kesempatan kepada pihak penggugat atau kuasanya mengungkapkan sejelas-jelasnya permasalahan yang menjadi sengketa sejak awal hingga keadaan yang sekarang, kemudian mediator memberikan pandangannya bagaimana sebaiknya mengatasi permasalahan tersebut sehingga pihak penggugat tidak dirugikan dan pihak tergugat juga diberi kemudahan-kemudahan memenuhi tuntutan tersebut. Kemudian penggugat disuruh menunggu di luar dan tergugat atau kuasanya dipanggil masuk, mediator mempersilahkan tergugat memberikan keterangannya sehubungan dengan adanya tuntutan pihak penggugat. Bila ada hal-hal yang janggal atau kurang jelas keterangan tergugat mediator mengajukan pertanyaan- pertanyaan atau minta kejelasan dari tergugat tentang hal-hal yang belum ditanggapi oleh tergugat, setelah selesai, mediator menawarkan beberapa solusi agar sengketa tersebut dapat selesai secara damai.
Tugas kedua seorang mediator: adalah memanggil kedua belah pihak memasuki ruang mediasi, mediator mempersilahkan pihak penggugat atau kuasanya mengajukan poin-poin tuntutannya dan bila ada solusi damai yang ditawarkannya hendaknya diajukan secara tertulis, bila ada hal yang dianggap mediator belum konkrit, mediator meminta agar penggugat mengulangi dan menjelaskan hal tersebut. Selanjutnya agar tergugat memberikan tanggapannya serta solusi damai yang ditawarkannya secara tertulis, dan mediator meminta kejelasan hal-hal yang dianggap kurang jelas.
Tugas ketiga seorang mediator: adalah mengelompokkan bagian-bagian yang telah disepakati, bila semua bagian telah disepakati berarti mediator berhasil mendamaikan para pihak, bila masih ada bagian yang belum disepakati maka pertemuan dilanjutkan pada hari dan tanggal yang telah disepakati bersama, dan mediator mengingatkan kepada para pihak untuk berfikir kembali dan mengajukan tawaran jalan keluar atas hal-hal yang belum disepakati tersebut secara tertulis dan diajukan kepada mediator pada hari dan tanggal yang telah disepakati tersebut.
MAKNA PENTINGNYA MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Tidak bisa dipungkiri bahwa upaya penyelesaian suatu perkara demikian sulit, rumit dan berbelit-belit, demikianlah kira – kira pendapat sebagian orang sehingga muncul wacana bahwa upaya yang telah dilakukan untuk sedapat mungkin menyelesaikan sengketa tanpa melalui proses ligitasi, sebagai contoh dalam menghadapi suatu sengketa para pihak yang berperkara khususnya piak Penggugat sebagai pihak yang berinisiatif berperkara untuk sedapat mungkin mengakhiri sengketa dengan jalur perdamaian. Karena bagaimanapun juga penyelesaian perkara dengan jalur perdamaian senantiasa akan mendatangkan keuntungan bagi kedua belah pihak.
Begitupun halnya keuntungan dari segi biaya, tentunya biaya yang akan dikeluarkan akan lebih murah, karena tidak mengeluarkan biaya yang terlalu banyak dan yang lebih penting lagi perdamaian akan mampu memulihkan hubungan baik diantara pihak yang berperkara, lebih-lebih bila mana para pihak yang berperkara tersebut adalah mereka yang nota bene sesama mitra usaha yang memerlukan suasana hubungan yang bersifat kolegalitas, bisa dibanyangkan apabila muncul persoalan diantara mereka kemudian diselesaikan melalui proses persidangan yang pada akhirnya berakibat pada dua kubu menang dan kalah. Hal ini tentunya akan berakibat pada pecahnya hubungan yang bersifat kolegalitas diantara mereka. Demikian pula halnya hubungan baik antara keluarga akan menjadi renggang bahkan putus, manakala mereka dalam menyelesaikan suatu sengketa misalnya adanya perebutan harta warisan dan lain-lain. Untuk mencegah agar jangan sampai hubungan keluarga menjadi berantakan hanya karena memperebutkan suatu hak seperti yang disebutkan dalam contoh diatas, maka penyelesaian secara damai jauh lebih bermanfaat dibandingkan sebaliknya.
Pentingnya mediasi dalam konteks ini dimaknai bukan sekedar upaya untuk meminimalisir perkara-perkara yang masuk ke Pengadilan baik itu pada Pengadilan tingkat pertama maupun tingkat banding, sehingga badan peradilan dimaksud terhindar dari adanya timbunan perkara, namun lebih dari itu Mediasi dipahami dan diterjemahkan dalam proses penyelesaian sengketa secara menyeluruh dengan penuh kesungguhan untuk mengakhiri suatu sengketa yang tengah berlangsung.
Walaupun dalam kenyataannya setiap perkara yang masuk ke Pengadilan Negeri sebagian besar tidak dapat didamaikan lagi dengan upaya perundingan, namun itu bukan berarti upaya ini kita matikan sama sekali, akan tetapi justru itu yang menjadi tantangan bagi mediator khususnya hakim untuk bisa memainkan perannya sebagai mediator yang ulung dengan menerapkan kemampuan dan kemahirannya secara maksimal.
Oleh karena itu Mediasi hendaknya dijadikan sebagai lembaga pertama dan terakhir dalam menyelesaikan sengketa antara para pencari keadilan, karena penyelesaian sengketa melalui proses litigasi banyak yang tidak berakhir manis, fenomena yang tak jarang kita temukan bisa menjadi suatu gambaran betapa nestapa yang sering mengiringi para pihak yang berperkara, di satu sisi bagi pihak yang menang ia mengeluarkan biaya yang tinggi terkadang tidak sesuai dengan nilai ekonomis barang yang diperebutkan dan di sisi lain bagi pihak yang kalah sering tidak dapat menerima kekalahan yang menyebabkan adanya tekanan psikologis dan timbulnya depresi yang akhirnya bermuara pada bentuk-bentuk tindakan anarkis. Hal demikian tentulah bukan menjadi harapan kita, karena konflik yang terjadi antar individu bisa memicu konflik yang lebih luas, seperti antar kelompok, dampak buruk dari hal itupun tak ayal dapat terhindar, putusnya jalinan silaturrahmi hubungan persaudaraan, kerugian moril dan materiil adalah contoh akibat negative dari persoalan di atas. Untuk itu, upaya preventif dalam setiap upaya penyelesaian persoalan harus dikedepankan, mencegah penyebab konflik berarti mencegah adanya kemudaratan.
Prinsipnya suatu peraturan dibuat adalah untuk dijalankan, demikian juga halnya dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2003. Islam adalah agama damai, yang berperkara di Pengadilan adalah Agama adalah orang-orang yang beragama Islam dan masih dalam ikatan keluarga, peluang untuk dapat didamaikan lebih besar dibandingkan dengan perkara-perkara pada Peradilan Umum, oleh karenanya upaya mendamaikan secara sungguh-sungguh sangat diharapkan, sekalipun menurut tehnik dan cara tersendiri di luar PERMA tersebut, hal ini Pengadilan Agama dapat dikecualikan, karena ada kekhususan, khusus menangani orang-orang Islam (orang-orang yang cinta damai), dan khusus sengketa dalam keluarga (family law).
IJIN COPAS YAAA...TRIMA KSH...
ReplyDelete