Wednesday, December 24, 2008
Hukum Acara
D. 1. Bentuk Surat Gugatan / Permohonan
Gugatan (permohonan) harus diajukan dengan surat gugatan (permohonan), yang ditandatangani oleh penggugat (pemohon) atau wakilnya. Karena gugatan harus diajukan dengan surat gugatan (permohonan), maka bagi mereka yang buta huruf dibuka kemungkinan mengajukan gugatan (permohonan)secara lisan kepada ketua pengadilan apa dan dimana yang berwenang mengadili untuk dibuatkan surat gugatan (permohonan), di samping itu ketua pengadilan tersebut berwenang memberikan bantuan petunjuk seperlunya kepada penggugat (pemohon) atau kuasanya tentang cara-cara mengajukan surat gugatan (permohonan).
Ada dua bentuk teori gugatan (permohonan), yaitu “subtantie theorie” dan “Individualisering theorie”.
1. Substantie Theorie
Menurut teori substansi, penggugat (pemohon) harus mengemukakan dalam surat gugatannya (permohonan) bukan hanya peristiwa hukumnya saja, akan tetapi sekaligus mengemukakan kenyataan-kenyataan yang menimbulkan terjadinya peristiwa-peristiwa hukum. Misal penggugat (pemohon) ingin menuntut barangnya yang dikuasai oleh tergugat, supaya dikembalikan kepadanya. Maka tidak cukup hanya dengan mengemukakan alasan-alasan bahwa barang itu (yang digugat) adalah miliknya, akan tetapi harus menyebutkan juga mengenai asal usul barang warisan bukan harta bersama dan lain-lain.
2. Individualisering theorie
Menurut teori ini bahan-bahan kenyataan itu asal dikemukakan begitu rupa, sehingga tidak merugikan orang lain, artinya tidak perlu mengemukakan asal usul pemilikan atas barang itu, dan teori ini dianut oleh system peradilan di Indonesia pada umumnya.
Hukum acara yang berlaku pada peradilan-peradilan di Indonesia menganut system “formalistis”, artinya jika dalam surat gugatan (permohonan) terdapat sedikit saja kesalahan, maka dapat menyebabkan kekalahan bagi penggugat (pemohon), untuk itulah HIR mengatur apabila terdapat kekurang jelasan dalam surat gugatan (permohonan), penggugat diminta untuk menjelaskan maksudnya di muka persidangan.
Macam-macam gugatan (vordering) itu antara lain :
a. Tuntutan Perorangan (personlijk) obyeknya adalah tuntutan pemenuhan ikatan karena persetujuan dan karena undang-undang.
b. Tuntutan Kebendaan (zakelijk) yaitu suatu penuntutan penyerahan suatu barang sebagai obyek dari pada hak benda atau pengakuan hak benda.
c. Tuntutan Campuran (gabungan antara personlijk dan zakelijk) adalah campuran dari tuntutan perorangan dengan kebendaan, penggolongan tersebut dapat dilihat dalam dictum (bagian terakhir dari suatu putusan dan merupakan kalimat di bawah mengadili).
Gabungan (commulatie) dari beberapa gugatan (samenvoeging) dapat dibedakan antara commulatie subyektif dan commulatie obyektif;
a. Commulatie Subyektif, dalam suatu perkara perdata seorang penggugat melawan beberapa orang tergugat atau sebaliknya, yakni beberapa orang penggugat melawan seorang tergugat, contoh gugatan perkara kewarisan, para ahli waris adalah merupakan commulatie subyektif (subyeknya banyak).
b. Commulatie Obyektif, ialah gugatan yang diajukan kepada seseorang dalam satu perkara yang berisi beberapa tuntutan, sebagai contoh gugatan perceraian, yang di dalamnya terdapat pertama tuntutan perceraian, kedua tuntutan harta bersama, ketiga tuntutan penguasaan anak dan sebagainya. Jadi dalam commulatie obyektif, obyek tuntutannya banyak.
Surat gugatan harus ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya, yang dimaksud wakil dalam hal ini adalah seorang kuasa, yakni seorang yang dengan sengaja telah menguasakan perkaranya kepada seseorang berdasar suatu surat kuasa khusus, untuk membuat dan menandatangani surat gugatan (permohonan). Karena surat gugatan ditandatangani oleh yang diberi kuasa, maka tanggal surat gugatan (permohonan) harus lebih muda dari pada tanggal yang terdapat dalam surat kuasa.
Surat gugatan (permohonan) harus bertanggal, menyebut dengan jelas nama penggugat dan tergugat, tempat tinggal mereka dan kalau perlu jabatan formal / informal penggugat dan tergugat, surat gugatan tertulis bagi yang mampu baca tulis, dan bagi yang buta aksara gugatan (permohonan) diajukan dengan cara lisan sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan di atas, dan surat gugatan (permohonan) ditulis di atas kertas yang dibubuhi materai.
Dalam pembahasan gugatan lisan dan tulisan ada hal-hal yang perlu diperhatikan kaitannya dengan masalah gugatan, sebab ketentuan Pasal 118 HIR / 142 RBG, gugatan harus diajukan dengan surat gugatan dan ditandatangani oleh Penggugat atau orang yang diberi kuasa untuk itu, dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama dalam daerah hukum tempat tinggal tergugat atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya, maka diajukan di tempat tergugat sebenarnya berdiam. Menurut hukum acara perdata peradilan agama, dalam hal cerai gugst ysng disjuksn oleh istri, maka gugatan diajukan di tempat kediaman penggugat (istri).
Di daerah di mana berlaku RBg, maka surat kuasa (permohonan) harus dibuat di hadapan notaries (berupa akte otentik) atau di depan pengadilan atau di depan camat. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 1964 (tanggal 30 April 1964) bahwa surat kuasa dapat dibuat di bawah tangan, asalkan sidik jari (cap jempol) dari si pemberi kuasa disahkan (diligalisir) oleh ketua pengadilan / bupati dan juga boleh camat.
Mengenai orang yang diberi kuasa oleh penggugat maupun oleh tergugat, di samping dapat diberikan kepada advokat / pengacara / pengacara praktik, dapat pula kuasa diberikan kepada orang lain, misalnya dari kalangan keluarga yang tidak menjadikan hal itu sebagai pekerjaan atau mata pencaharian. Kuasa kepada orang lain dimaksud, memerlukan surat kuasa dan didaftarkan ke pengadilan dimana perkara itu akan diperiksa, untuk itu diberikan ijin khusus untuk satu perkara oleh pengadilan yang bersangkutan.
Dasar gugatan yang biasa disebut fundamentum petendi, ataupun posita gugatan, harus memuat secara jelas duduknya perkara maupun menurut alasan berdasar hukum, misalnya dari beberapa alas an perceraian sebagaimana yang disebutkan dalam UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974), maka alas an yang mana di antara beberapa alas an itu yang dijadikan dasar gugatan.
Apabila masalah warisan, dapat disebutkan permintaan untuk membaginya menurut hukum Islam (faroid). Kemudian permohonan itu diakhiri dengan apa saja yang diminta untuk diputuskan secara terperinci, tentang mana yang diminta ditetapkan dan mana pula yang diminta untuk diperintahkan dan dihukum kepada tergugat. Bagian ini disebut sebagai “petitum gugatan” yang nantinya akan menjadi dictum atau amar dari putusan hakim, jika dikabulkan. Lazimnya permintaan yang paling akhir urutannya, dirumuskan dalam kata-kata “subsidair” mohon putusan lain yang dianggap adil, dengan adanya permohonan putusan “subsidair”, memungkinkan hakim memberikan putusan lain dari apa yang dimintakan diputus apabila hal-hal yang diminta secara tegas dan terperinci di atasnya tidak dapat dikabulkan hakim. Sebab ada larangan bagi hakim untuk memutus lebih dari apa yang dimintakan dan hanya wajib memutuskan semua bagian yang diminta pada petitum.
D. 2. Kemana Gugatan Diajukan
Ke mana gugatan / permohonan diajukan? Secara garis besar Pasal 118 HIR / 142 RBG secara lengkap mengatur hal tersebut, yakni:
1. Gugatan perdata dalam tingkat pertama masuk wewenang Pengadilan Negeri (Agama), harus diajukan dengan surat gugatan, yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh orang yang dikuasakan kepada Ketua Pengadilan Negeri (Agama) yang dalam daerah hukumnya terletak tempat tinggal tergugat. Yang dimaksud dengan tempat tinggal menurut pasal 17 BW adalah tempat dimana seseorang menempatkan pusat kediamannya. Hal ini dapat dilihat dari Kartu Tanda Penduduk.
2. Apabila tidak diketahui tempat tinggalnya, gugatan diajukanpada Pengadilan Negeri (Agama) tempat kediaman tergugat. Hal ini dapat dilihat dari rumah tempat kediamannya.
3. Apabila tergugat terdiri dari dua orang atau lebih, gugatan diajukan pada tempat tinggal slah seorang dari para tergugat, terserah pilihan dari tergugat, jadi penggugat yang menentukan dimana akan mengajukan gugatannya.
4. Apabila pihak tergugat ada dua orang, yaitu yang seorang misalnya adalah yang berhutang dan yang lain menjaminnya, maka gugatan harus diajukan kepada Pengadilan Negeri (Agama) pihak yang berhutang. Sehubungan dengan hal ini perlu dikemukakan, bahwa secara analogis dengan ketentuan tersebut, apabila tempat tinggal tergugat dan turut tergugat berbeda, gugatan harus diajukan di tempat tinggal tergugat.
5. Apabila tempat tinggal dan tempat kediaman Tergugat tidak diketahui. Gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri (Agama) tempat tinggal Penggugat, atau
6. Kalau gugatan itu tentang benda tidak bergerak, dapat juga diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri (Agama) dimana barang tetap itu terletak dalam beberapa daerah hukum Pengadilan Negeri (Agama), maka gugatan diajukan kepada salah satu Pengadilan Negeri (Agama), menurut pilihan penggugat.
Ada beberapa pengecualian dari ketentuan HIR/RBG tersebut yang mengatur tentang kemana gugatan itu diajukan. Ketentuan pengecualian tersebut terdapat dalam BW, RV, dan UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974), yaitu:
1. Apabila dalah hal tergugat tidak cakap untuk menghadap di muka pengadilan, gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri (Agama) orang tuanya, walinya atau pengempunya (Pasal 21 BW).
2. Yang menyangkut pegawai negeri, yang berwenang untuk mengadilinya adalah Pengadilan Negeri (Agama) di daerah mana ia bekerja (Pasal 20 BW).
3. Buruh yang menginap di majikannya, yang berwenang untuk mengadilinya adalah Pengadilan Negeri (Agama) tempat tinggal majikan (Pasal 22 BW).
4. Tentang hal kepailitan yang berwenang untuk mengadilinya adalah Pengadilan Negeri yang menyatakan tergugat pailit (Pasal 99 ayat (15) RV).
5. Tentang penjamin (vrijwaring) yang berwenang untuk mengadilinya adalah Pengadilan Negeri (Agama) yang pertama dimana pemeriksaan dilakukan (Pasal 99 ayat (14) RV). Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan HIR/RBG tersebur dimana gugatan diajukan kepada pihak yang berhutang.
6. Yang menyangkut permohonan pembatalan perkawinan, diajukan kepada Pengadilan Negeri (Agama) dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami isteri (Pasal 25 jo. 63 (1b) UU No. 1/1974 dan Pasal 38 (1 dan 2) PP. No. 9/1975.
7. Dalam tergugat bertempat tinggal di luar negeri, gugatan diajukan di tempat kediaman penggugat dan Ketua Pengadilan Negeri (Agama) menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat (Pasal40 j0. Pasal 63 (1b) UU No. 1/1974, Pasal 20 (2 dan 3) PP No. 9/1975).
Sistem hukum acara perdata peradilan di Indonesia, ada yang berlaku secara umum sebagaimana diuraikan di atas, dan ada juga yang berlaku secara khusus, yakni berlaku di lingkungan Peradilan Agama yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Pasal 66 UU No. 7/1989 Tentang Peradilan Agama (pasal ini tidak mengalami perubahan dalam UU No. 3 Tahun 2006) mengatur masalah cerai talak yang diajukan oleh seorang suami terhadap istrinya :
1. Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan siding guna menyaksikan ikrar talak.
2. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa ijin pemohon.
3. Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
4. Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Pasal 73 UU No.7 Tahun 1989 yang tidak mengalami perubahan dalam UU No. 3 Tahun 2006 mengatur masalah cerai gugat yang dilakukan oleh seorang istri kepada suaminya :
1. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa ijin tergugat.
2. Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
3. Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada pengadilan Jakarta Pusat.
PIHAK DALAM PERKARA
E. 1. Penggugat dan Tergugat
Disebut dengan penggugat adalah orang baik untuk dan atas namapribadi maupun atas nama suatu lembaga yang merasa haknya dilanggar. Sedang bagi orang yang ditarik ke muka muka pengadilan karena ia dianggap melanggar hak seseorang / beberapa orang atau lembaga tersebut disebut tergugat. Manakala ada banyak pihak yang terlibat dalam suatu perkara baik penggugat meupun tergugat, para pihak tersebut disebut penggugat satu, penggugat dua dan seterusnya, demikian pula disebut tergugat satu, tergugat dua dan seterusnya.
Dalam praktik persidangan perkataan turut tergugat dipergunakan bagi orang-orang atau pihak-pihak yang tidak menguasai barang sengketa atau tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu, hanya demi lengkapnya suatu gugatan harus diikutsertakan. Diikutsertakannya para pihak yang dirasa turut tergugat adalah orang atau lembaga yang menurut penggugat tidak menjadikannya sebagai sasaran utama, hanya berperan sebagai penguat apa yang menjadi sasaran utamanya. Istilah turut penggugat dalam suatu perkara di persidangan tidak pernah dijumpai, karena demikian itu tidak dikenal dalam hukum acara perdata, kalau sekiranya ada istilah turut penggugat sesungguhnya adalah berperan sebagai saksi yang diajukan oleh penggugat yang menurutnya dianggap mengetahui, dan pengetahuannya itu dianggap mendukung apa yang menjadi haknya. Turut tergugat bukan berarti tergugat atau penggugat akan tetapi demi lengkapnya pihak-pihak harus diikutsertakan sekedar untuk turut serta mentaati terhadap putusan pengadilan.
Memakai perkataan “merasa” / “dirasa”oleh karena belum tentu yang bersangkutan sesungguh-sungguhnya melanggar hak penggugat. Sebagai contoh dalam persoalan harta waris, seorang anak angkat almarhum A dan almarhum B yang bernama C, menggugat pamannya adik dari almarhum A yang benama D, oleh karena pamannya ini menguasai sebidang tanah bekas milik ayah almarhum A dan D, C sebagai penggugat merasa bahwa D melanggar haknya, akan tetapi oleh karena C adalah bukan sebagai ahli waris dari pada keluarga A dan B, dia hanya berstatussebagai anak angkat yang tidak adanya bagian waris baginya, maka si C tersebut disebut dengan orang yang tidak punya hak kedudukan hukum, sebab orang yang tidak punya hak atau kedudukan hukum atas sengketa yang diperkarakan, dengan demikian C adalah sebagai pihak penggugat yang tidak sah karena tindakannya sudah cacat formil terlebih dahulu dan berada dalam keadaan diskualifikasi in person dan seperti ini sesuai dengan asas tidak ada hak tidak ada putusan (vordering), sebab hak seseorang menuntut adalah terbatas sepanjang hak yang dimilikinya (nemo plus juris).
Dalam hukum acara perdata, inisiatif ada dan tidaknya suatu perkara harus diambil seseorang atau beberapa orang yang merasa bahwa haknya atau hak mereka dilanggar, ini berbeda dengan sifat Hukum Acara Pidana, yang pada umumnya tidak menggantungkan adanya perkara dari inisiatif orang yang dirugikan, misalnya apabila terjadi pembunuhan tanpa adanya suatu pengaduan, pihak berwajib harus bertindak. Oleh karena dalam Hukum Acara Perdata inisiatif ada pada penggugat, maka penggugat mempunyai pengaruh besar terhadap jalannya perkara, setelah perkara diajukan, penggugat dalam batas-batas tertentu dapat merubah atau mencabut kembali gugatannya.
E. 2. PEMOHON DAN TERMOHON
Permohonan pemohon adalah suatu permohonan yang didalamnya berisi suatu tuntutan hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hak yang tidak mengandung sengketa, sehingga badan-badan peradilan dalam mengadili suatu perkara permohonan (voluntair) bila dianggap sebagai suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya.
Di lingkungan peradilan agama, sebagaimana yang dijelaskan dalam SE-MA No. 2 Tahun 1990, menyebutkan padaasasnya cerai talak adalah merupakan sengketa perkawinan antara kedua belah pihak, sehingga karenanya permohonan cerai talak merupakan perkara contentius dan bukan perkara voluntair, untuk itu produk hakim adalah perkara permohonan tersebut dibuat dalam bentuk kata putusan dengan amar dalam bentuk penetapan.
Pengadilan hanya berwenang menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan setiap perkara yang bersifat sengketa. Secara khusus peradilan agama dibenarkan untuk menangani perkara yang bukan atas dasar persengketaan nsmun bersifat permohonan kepada Pengadilan Agama, seperti perkara wali adlol (Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1987), dispensasi nikah (UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 7 (2), ijin nikah (UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 (5) jo. Kompilasi Hukum Islam Pasal 15 (2), dan ijin poligami (PP No. 9 Tahun 1975, Pasal 40).
Prosedur pengajuan perkara wali adlol adalah dilakukan sebagaimana perkara biasa, dan tahapan-tahapan tingkat pemeriksaan perkara tersebut adalah dilakukan dengan tepat, cermat dan singkat oleh hakim yang menyidangkannya, hal ini dilakukan untuk ditemukan kebenaran fakta tentang adlolnya wali. Pemeriksaan singkat (kortgeding) diatur juga dalam pasal 283 RV (reglemen hukum acara perdata) yakni pemeriksaan secara singkat dimuka hakim mengenai perkara yang karena memerlukan penyelesaian cepat dan seketika itu juga menghendaki putusan yang segera.
Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 13 Oktober 1954, menyatakan tidak nampak suatu keharusan yang patut untuk memperlakukan peraturan pemeriksaan kilat (kortgeding), sebagai peraturan yang berlaku atau sebagai pedoman bagi peradilan, sehingga yang dimaksud dengan acara singkat dalam pasal 2 ayat (3) peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 adalah bahwa terhadap permohonan wali adlol diharapkan prosedur pemeriksaan di persidangan dapat dilaksanakan jauh lebih cepat.
Di samping wali adlol adalah perkara poligami, meskipun nampaknya ijin poligami itu menurut ketentuan perundang-undangan, merupakan perkara voluntair, tetapi dalam praktik selalu melibatkan kepentingan pihak lain, yaitu pihak isteri dan calon isteri. Sehingga Mahkamah Agung memberikan petunjukdalam hal permohonan ijin poligami tidak dapat dilakukan secara voluntair akan tetapi harus dalam bentuk gugatan yang bersifat contensius. Dengan demikian, ada kewenangan peradilan agama untuk menangani perkara-perkara voluntair sejauh yang telah ditentukan oleh undang-undang, untuk mendapatkan penetapan dari pengadilan.
Perbedaannya dengan perkara gugatan murni adalah bahwa dalam perkara gugatanterdapat persengketaan yang harus mendapatkan penyelesaian melalui putusan pengadilan.Dalam perkara gugatan terdapat seorang atau lebih yang merasa haknya telah dilanggar, akan tetapi orang yang dirasa melanggar hak seseorang atau beberapa orang tersebut tidak mau secara suka rela melakukan sesuatu yang diminta itu, untuk menentukan siapa yang benar dan berhak, diperlukan adanya suatu putusan pengadilan. Diawali dengan pengajuan perkara oleh pihak yang merasa haknya dilanggar, dan dalam proses persidangan terdapat perselisihan dan persengketaan, bukan atas dasar kesepakatan rela sama rela, karena produk yang dikeluarkan oleh pengadilan dalam perkara contentiosa bukan lagi penetapan tapi dalam bentuk putusan.
ISI GUGATAN / PERMOHONAN
Berkaitan dengan persyaratan isi gugatan tidak diatur dalam HIRmaupun RBg. Persyaratan mengenai isi gugatan ditemukan dalam pasal 8 RV yang mengharuskan gugatan pada pokoknya memuat :
1. Identitas Para pihak, yang meliputi: Nama (beserta bin/binti dan aliasnya), umur, agama, pekerjaan dan tempat tinggal. Bagi pihak yang tempat tinggalnya tidak diketahui hendaknya ditulis, “dahulu bertempat tinggal di….. tetapi sekarang tidak diketahui tempat tinggalnya di Indonesia, dan kewarganegaraan (bila perlu). Pihak-pihak yang ada sangkut pautnya dengan perkara itu harus disebut secara jelastentang kedudukannya dalam perkara, apakah sebagai penggugat, tergugat, turut tergugat, pelawan, terlawan, pemohon, atau termohon. Dalam praktik dikenal pihak yang disebut turut tergugat dimaksudkan untuk mau tunduk terhadap putusan pengadilan. Sedangkan istilah turut penggugat tidak dikenal. Untuk menentukan tergugat sepenuhnya menjadi otoritas penggugat sendiri.
2. Fundamentum Petendi (Posita), yaitu penjelsan tentang keadaan / peristiwa dan penjelasan yang berhubungan dengan hukum yang dijadikan dasar atau alasan gugat. Posita memuat dua bagian: (a) alasan yang berdasarkan fakta/peristiwa hukum, dan (b) alasan yang berdasarkan hukum, tetapi hal ini bukan merupakan keharusan. Hakimlah yang harus melengkapinya dalam putusan nantinya.
3. Petitum (tuntutan), Menurut Pasal 8 Nomor 3 R.Bg. ialah apa yang diminta atau yang diharapkan oleh penggugat agar diputuskan oleh hakim dalam persidangan. Petitum akan dijawab oleh majelis hakim dalam amar putusannya. Petitum harus berdasarkan hukum dan harus pula didukung oleh Posita. Pada prinsipnya posita yang tidak didukung oleh petitum (tuntutan) berakibat tidak diterimanya tuntutan, pun sebaliknya petitum / tuntutan yang tidak didukung oleh posita berakibat tuntutan penggugat ditolak.
Mekanisme petitum (tuntutan) dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian pokok, yaitu: (a) tuntutan primer (pokok) merupakan tuntutan yang sebenarnya diminta penggugat, dan hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari apa yang diminta (dituntut), (b) tuntutan tambahan, merupakan tuntutan pelengkap daripada tuntutan pokok, seperti dalam hal perceraian berupa tuntutan pembayaran nafkah madhiyah, nafkah anak, mut’ah, nafkah idah, dan pembagian harta bersama, dan (c) tuntutan subsider (pengganti) diajukan untuk mengantisipasi kemungkinan tuntutan pokok dan tuntutan tambahan tidak diterima majelis hakim. Biasanya kalimatnya adalah “agar majelis hakim mengadili menurut hukum yang seadil-adilnya “atau” mohon putusan yang seadil-adilnya” bias juga ditulis dengan kata-kata “ex aequo et bono”.
E. 4. Gugatan Lisan dan/atau Tertulis
Semua gugatan / permohonan harus dibuat secara tertulis, akan tetapi dimungkinkan bagi penggugat / pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis, maka gugatan / permohonan diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang. Kemudian Ketua Pengadilan yang berwenang tersebut memerintahkan kepada hakim untuk membuatkan surat permohonan / gugatan dengan cara mencatat dan memformulasikan segala sesuatu yang dikemukakan oleh peenggugat / pemohon dan membacakannya, kemudian surat gugatan / permohonan tersebut ditandatangani ketua/hakim yang membuatkannya itu, hal ini berdasar ketentuan Pasal 114 (1) R.Bg. atau Pasal 120 HIR. Sementara penggugat tidak tidak perlu tanda tangan atau membubuhkan cap jempolnya dan juga tidak usah diberi materai.
Dalam praktik proses pengajuan gugat secara lisan bagi buta huruf dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Gugatan disampaikan secara lisan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang.
2. Ketua Pengadilan atau hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan mencatat segala peristiwa yang disampaikan penggugat, kemudian diformulasikan dalam bentuk surat gugat.
3. Gugatan yang diformulasikan tersebut dibacakan untuk penggugat dan ditanyakan kepadanya tentang isi gugatan itu, apakah sudah cukup atau masih perlu ditambah, dikurangi atau diubah.
4. Gugatan yang dinyatakan cukup oleh penggugat, maka Ketua Pengadilan atau hakim yang ditunjuk tersebut untuk menandatanganinya.
Adapun gugatan atau permohonan yang dibuat secara tertulis, harus ditandatangani oleh penggugat / pemohon (Pasal 142 (1) R.Bg. / Pasal 118 (1) HIR). Apabila pemohon / penggugat telah menunjuk kuasa khusus maka surat gugatan / permohonan harus ditandatangani oleh kuasa hukumnya tersebut (Pasal 147 (1) R.Bg. / Pasal 123 HIR).
Surat gugatan / permohonan dibuat rangkap enam, masing-masing satu rangkap untuk penggugat/ pemohon, satu rangkap untuk tergugat/ termohon atau menurut kebutuhan dan empat rangkap untuk majelis hakim yang memeriksanya. Apabila surat gugatan/ permohonan hanya dibuat satu rangkap, maka harus dibuat salinannya sejumlah yang diperlukan dan dilegalisir oleh panitera.
MEKANISME PEMERIKSAAN PERKARA DALAM SIDANG
Mekanisme pemeriksaan perkara perdata peradilan agama yang dilakukan di depan sidang pengadilan secara sistemik harus mulai babarapa tahap berikut ini, yakni:
Pertama, Melakukan perdamaian. Pada siding upaya perdamaian inisiatif perdamaian dapat timbul dari hakim, penggugat/ tergugat atau pemohon/ termohon. Hakim harus secara aktif dan sungguh-sungguh untuk mendamaikn para pihak. Apabila upaya damai tidak berhasil, maka siding dapat dilanjutkan pada tahapan berikutnya.
Kedua, Pembacaan surat gugatan. Pada tahap ini pihak penggugat / pemohon berhak meneliti ulang apakah seluruh materi (dalil gugat dan petitum) sudah benar dan lengkap. Hal-hal yang tercantum dalam surat gugat itulah yang menjadi acuan (obyek) pemeriksaan dan pemeriksaan tidak boleh keluar dari ruang lingkup yang termuat dalam surat gugatan.
Ketiga, Jawaban tergugat / termohon. Pihak tergugat / termohon diberi kesempatan untuk membela diri dan mengajukan segala kepentingannya terhadap penggugat / pemohon melalui majelis hakim dalam persidangan.
Keempat, Replik dari penggugat / pemohon. Penggugat / pemohon dapat menegaskan kembali gugatannya / permohonannya yang disangkal oleh tergugat / termohon dan juga mempertahankan diri atas serangan – serangan tergugat / termohon.
Kelima, Duplik dari tergugat / termohon. Tergugat / termohon menjelaskan kembali jawabannya yang disangkal oleh penggugat. Replik dan duplik dapat diulang-ulang sehingga hakim memandang cukup atas replik dan duplik tersebut.
Keenam, Tahap pembuktian. Penggugat / pemohon mengajukan semua alat bukti untuk mendukung dalil-dalil gugat. Demikian juga tergugat / termohon mengajukan alat-alat bukti untuk mendukung jawabannya (sanggahannya). Masing-masing pihak berhak menilai alat bukti pihak lawan.
Ketujuh, Tahap kesimpulan. Masing-masing pihak baik penggugat / pemohon maupun tergugat / termohon mengajukan pendapat akhir tentang hasil pemeriksaan.
Kedelapan, Tahap putusan. Hakim menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara itu dan menyimpulkannya dalam amar putusan, sebagai akhir persengketaan.
Beberapa kemungkinan pemeriksaan perkara di muka persidangan Pengadilan Agama, yakni:
A. Sidang Pertama
Pada siding pertama yang telah ditetapkan dan para pihak telah dipanggil secara resmi dan patut untuk hadir dalam persidangan pengadilan, dalam hal ini diketemukan beberapa kemungkinan dan solusinya, kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah :
1. Penggugat / pemohon tidak hadir, sedang tergugat / termohon hadir
Apabila penggugat/pemohon tidak hadir dalam siding, sedang tergugat/termohon hadir, maka hakim dapat melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Menyatakan bahwa gugatan / permohonan dinyatakan gugur, atau
b. Menunda persidangan sekali lagi untuk memanggil penggugat / pemohon. Apabila penggugat / pemohon telah dipanggil sekali lagi namun tetap tidak hadir dalam persidangan, maka hakim dapat menetapkan bahwa gugatan dinyatakan gugur atau menunda lagi persidangan dengan memanggil lagi penggugat / pemohon dengan persetujuan tergugat / termohon. Hal ini diatur dalam Pasal 124 HIR / Pasal 148 R.Bg. Gugatan dinyatakan gugur apabila:
1. Penggugat telah dipanggil dengan patut dan resmi.
2. Penggugat tidak hadir dalam sidang dan tidak menyuruh orang lain untuk hadir sebagai wakilnya serta tidak ternyata bahwa ketidakhadirannya itu karena alasan yang syah.
3. Tergugat hadir dalam siding dan mohon putusan. Dalam hal ini, penggugat / pemohon dapat mengajukan lagi gugatan / permohonan baru dengan membayar lagi panjar biaya perkara, atau mengajukan banding. Apabila penggugat lebih dari seorang kemudian ada sebagian yang tidak hadir, maka tidak dapat digugurkan melainkan harus diperiksa seperti biasa, tetapi jika semua tidak hadir maka dapat diputus gugur.
2. Tergugat / termohon tidak hadir, sedang penggugat / pemohon hadir
Apabila dalam sidang pertama penggugat / pemohon hadir, sedangkan tergugat/termohon tidak hadir, maka hakim dapat melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Menunda persidangan untuk memanggil tergugat / termohon sekali lagi, atau
b. Menjatuhkan putusan verstek, karena tergugat / termohon dinilai ta’azzuz atau tawari atau ghoib.
Apabila tergugat/termohon telah dipanggil kembali untuk yang kedua kalinya atau lebih dan tetap tidak hadir, maka dapat dijatuhkan putusan verstek. Putusan verstek dapat dijatuhkan apabila:
1. Tergugat / termohon telah dipanggil dengan patut dan resmi.
2. Tergugat / termohon tidak hadir dalam siding dan tidak menyuruh orang lain untuk hadir sebagai wakilnya serta tidak ternyata bahwa ketidakhadirannya itu disebabkan oleh sesuatu halangan atau alasan yang syah.
3. Penggugat / pemohon hadir dalam persidangan dan mohon putusan (Pasal 125 HIR atau Pasal 149 R.Bg) Dalam hal terjadi demikian, maka hakim menasehati agar penggugat / pemohon mengurungkan / mencabut kembali gugatannya. Apabila tidak berhasil maka gugatannya dibacakan. Jika penggugat / pemohon tetap mempertahankan dan mohon dijatuhkan putusan, maka hakim akan mempertimbangkan gugatan tersebut dan kemudian menjatuhkan putusannya di luar hadir tergugat (verstek).
3. Tergugat / termohon tidak hadir tapi mengirim surat jawaban
Apabila tergugat / termohon tidak hadir, walaupun telah dipanggil dengan patut dan resmi, tetapi ia mengirimkan surat jawaban, maka surat itu tidak perlu diperhatikan dan dianggap tidak pernah ada, kecuali jika surat itu berisi perlawanan (eksepsi) bahwa Pengadilan Agama yang bersangkutan tidak berwenang untuk mengadilinya. Dalam hal ini maka eksepsi tersebut harus diperiksa oleh hakim dan diputus setelah mendengar dari penggugat / pemohon.
Apabila eksepsi tersebut dibenarkan/diterima oleh hakim, maka hakim menyatakan bahwa gugatan tidak diterima dengan alasan bahwa Pengadila Agama tidak berwenang. Dan apabila eksepsi tersebut tidak diterima karena dinilai tidak benar maka hakim memutus dengan verstek biasa.
Apabila kemudian tergugat mengajukan verzet dan di dalam verzet itu mengajukan eksepsi lagi, maka eksepsinya tidak diterima kecuali eksepsi mengenai kewenangan absolute. Jika ternyata perkara tersebut bukan wewenang Pengadilan agama Melainkan menjadi wewenang pengadilan lain, maka eksepsi harus diterima dan hakim harus menyatakan diri tidak berwenang.
4. Penggugat / pemohon dan tergugat / termohon sama-sama tidak hadir dalam persidangan
Jika penggugat / pemohon dan tergugat / termohon tidak hadir dalam siding pertama, maka sidang harus ditunda dan para pihak dipanggil lagi sampai dapat dijatuhkan putusan gugur atau verstek atau perkara dapat diperiksa.
5. Penggugat / pemohon dan tergugat / termohon hadir dalam semua sidang
Apabila para pihak hadir semua dalam persidangan, maka hakim sebelum memulai wajib berusaha mendamaikan para pihak.
UPAYA PERDAMAIAN
1. Pengertian Perdamaian
Yang dimaksud dengan perdamaian adalah suatu persetujuan di mana kedua belah pihak dengan menyerahkan, manjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu sengketa yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara, dan persetujuan perdamaian tidak sah melainkan harus dibuat secara tertulis.
Apabila pada hari sidang yang telah ditetapkan kedua belah pihak yang berperkara hadir dalam persidangan, maka ketua majelis hakim berusaha mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa tersebut. Jika dapat dicapai perdamaian, maka pada hari persidangan hari itu juga dibuatkan putusan perdamaian dan kedua belah pihak dihukum untuk mentaati persetujuan yang telah disepakati itu. Putusan perdamaian yang dibuat di muka persidangan itu mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat dilaksanakan eksekusi sebagaimana layaknya putusan biasa yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, terhadap putusan perdamaian ini tidak dapat diajukan banding ke pengadilan tingkat banding.
2. Syarat Formal Upaya Perdamaian
a. Adanya persetujuan kedua belah pihak
Dalam usaha melaksanakan perdamaian yang dilakukan oleh majelis hakim dalam persidangan, kedua belah pihak harus bersepekat dan menyetujui dengan suka rela untuk mengakhiri perselisihan yang sedang berlangsung. Persetujuan itu harus betul-betul murni dating dari kedua belah pihak. Persetujuan yang memenuhi syarat formil adalah sebagai berikut:
1) Adanya kata sepakat secara sukarela (toestemming).
2) Kedua belah pihak cakap membuat persetujuan (bekwanneid).
3) Obyek persetujuan mengenai pokok yang tertentu (bapaalde onderwerp).
4) Berdasarkan alasan yang diperbolehkan (georrlosofde oorzaak).
b. Mengakhiri Sengketa
Apabila perdamaian telah dapat dilaksanakan maka dibuat putusan perdamaian yang lazim disebut dengan akta perdamaian. Putusan perdamaian yang dibuat dalam majelis hakim harus betul-betul mengakhiri sengketa yang sedang terjadi diantara pihak-pihak yang berperkara secara tuntas. Putusan perdamaian hendaknya meliputi keseluruhan sengketa yang diperkarakan, hal ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya perkara lagi dengan masalah yang sama.
c. Mengenai Sengketa Yang Telah Ada
Syarat untuk dijadikan dasar putusan perdamaian itu hendaknya persengketaan para pihak sudah terjadi, baik yang sudah terwujud maupun yang sudah nyata terwujud tetapi baru akan diajukan ke pengadilan sehingga perdamaian yang dibuat oleh para pihak mencegah terjadinya perkara di siding pengadilan.
d. Bebtuk Perdamaian Harus Tertulis
Persetujuan perdamaian itu sah apabila dibuat secara tertulis, syarat ini bersifat imperative (memaksa), jadi tidak ada persetujuan perdamaian apabila dilaksanakan dengan cara lisan dihadapan pejabat yang berwenang. Jadi akta perdamaian harus dibuat secara tertulis sesuai dengan format yang telah ditetapkan oleh ketentuan yang berlaku.
1. Nilai Kekuatan Perdamaian
Pada setiap permulaan siding, sebelum pemeriksaan perkara, hakim diwajibkan mengusahakan perdamaian antara para pihak yang berperkara.Apabila upaya perdamaian itu berhasil, maka dibuatlah akta perdamaian (Acta van Vergelijk) yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat antara mereka.
Akta perdamaian memiliki kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim dan dapat dieksekusikan. Apabila ada pihak yang tidak mau menaati isi perdamaian, maka pihak yang dirugikan dapat memohon eksekusi kepada Pengadilan Agama. Eksekusi dilaksanakan seperti menjalankan putusan hakim biasa. Akta perdamaian hanya bias dibuat dalam sengketa mengenaikebendaan saja yang memungkinkan untuk dieksekusi.
Akta perdamaian dicatat dalam register induk perkara yang bersangkutan pada kolom putusan. Akta perdamaian tidak dapat dimintakan banding, kasasi ataupunpeninjauan kembali. Demikian pula terhadap akta perdamaian tidak dapat diajukan gugatan baru lagi.
2. Perdamaian dalam Perkara Perceraian
Dalam sengketa yang berkaitan dengan perkara percerian, maka tindakan hakim dalam mendamaiakan pihak-pihak yang bersengketa untuk menghentikan persengketaannya adalah mengupayakan tidak terjadinya perceraian.
Pada sidang pertama pemeriksaan perkara perceraian hakim berusaha mendamaikan kedua pihak. Dalam siding tersebut, suami isteri (pihak principal) harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri dan tidak dapat menghadap secara pribadi, dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
Usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap siding pemeriksaan pada semua tingkat peradilan, yaitu tingkat pertama, tingkat banding, maupun kasasi selama perkara belum diputus pada tingkat tersebut, jadi tidak hanya dalam sidang pertama sebagaimana lazimnya perkara perdata. Dalam upaya perdamaian kedua belah pihak, pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang atau badan lain yang dianggap perlu. Dan dimungkinkan pengadilan membentuk tiem mediasi secara khusus untuk menangani perkara perceraian.
3. Perdamaian di luar Sidang
Dalam gugatan atau permohonan terdapat dua atau lebih pihak yang satu sama lain saling sengketa, untuk menyelesaikan sengketa tersebut kadangkala mereka selesaiakn sendiri atau melibatkan pihak lain di luar sidang pengadilan. Disaat perkara itu belum dimajukan di pengadilan atau sudah dimajukan di pengadilan telah diselesaikan sendiri dengan cara perdamaian, sehingga permohonan atau gugatan tersebut dicabut, yang demikian itu secara hukum tidak mengikat, sehingga tidak tertutup kemungkinan dikemudian hari terjadi persengketaan kembali yang diajukan di pengadilan.
Perdamaian lewat proses pengadilan adalah lebih mengikat para pihak, menurut Pasal 30 ayat (1) HIR / Pasal 154 R.Bg, hakim sebelum memeriksa perkara perdata terlebih dahulu harus berusaha mendamaiakn kedua belah pihak, bahkan usaha mendamaikan itu dapat dilakukan sepanjang proses berjalan, juga dalam tahap banding dan kasasi.
Mekanisme perdamaian perkara perceraian harus dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, hakim berusaha mendamaikan kedua pihak.
2) Pada sidang perdamaian, suami isteri harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap sendiri secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
3) Apabila kedua belah pihak bertempat kediaman di luar negeri maka penggugat pada sidang perdamaian tersebut harus menghadap secara pribadi.
4) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.
Hasil perdamaian harus dijunjung tinggi antara kedua belah pihak, sebab sekali perdamaian disepakati, maka tertutup baginya untuk mengajukan gugatan baru dengan alasan yang sama, artinya apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian beru berdasar alasan yang sudah ada dan telah diketahui oleh penggugat sebelum perdamaian dicapai.
4. Akta Perdamaian
Pada permulaan sidang sebelum dimulai pemeriksaan perkara perceraian, hakim diwajibkan mengusahakan perdamaian antara pihak-pihak yang bersengketa.
Apabila upaya perdamaian itu berhasil, maka dibuatlah “akta perdamaian’ yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat antara mereka, dengan demikian perdamaian dapat mengakhiri perkara antara pihak-pihak dan berlaku sebagai putusan hukum yang telah mempunyai hukum tetap. Kekuatan putusan perdamaian ini adalah sama dengan putusan biasa, yaitu sebagaimana putusan hakim dalam tingkat penghabisan dan dapat dilaksanakan sepertiputusan lainnya dan tidak dapat dimintakan banding.
Perdamaian yang berhubungan dengan hukum kebendaan, akta perdamaian tersebut harus mempunyai kekuatan hukum untuk dimintakan eksekusi, apabila salah satu pihak tidak mentaati isi perdamaian yang telah disepakati.
5. Perdamaian Pada Pengadilan Tingkat Pertama
Apabila usaha perdamaian berhasil, maka perkara dicabut dengan persetujuan para pihak, untuk itulah tidak mungkin dibuat suatu ketentuan atau syarat yang bermaksud melarang salah satu pihak melakukan perbuatan tertentu, misalnya dilarang menganiaya dan lain-lain atau mewajibkan salah satu pihak melakukan sesuatu misalnya harus menyayangi isteri, harus mentaati suami dan lain sebagainya.
Syarat-syarat tersebut di atas tidaklah mungkin dibuat akta perdamaian. Sebab apabila ketentuan tersebut dilanggar, putusan (akta perdamaian) tersebut tidak dapat dieksekusi, karena akibat pelanggaran tersebut tidak mengakibatkan putusnya perkawinan. Apabila salah satu pihak menghendaki perceraian, satu-satunya jalan adalah mengajukan perkara perceraian baru.
Apabila tercapai perdamaian, maka perkara perceraian tersebut dicabut, untuk itu hakim membuat “penetapan” yang menyatakan perkara telah dicabut karena perdamaian dan para pihak masih dalam ikatan perkawinan yang syah berdasarkan akta nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan yang bersangkutan, dimana mereka dahulu melakukan perkawinannya. Penetapan yang semacam ini tidak dapat dimintakan upaya hukum.
Apabila tercapai perdamaian maka tidak dapat diajukan permohonan / gugatan cerai lagi berdasarkan alas an yang serupa atas kemungkinan dengan alas an lain yang telah diketahui pada saat perdamaian itu terjadi. Permohonan perceraian hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan-alasan baru yang terjadi setelah perdamaian tersebut.
6. Perdamaian Pada Pengadilan Tingkat Banding atau Kasasi
Apabila putusan perceraian dimintakan banding atau kasasi, logikanya perceraian itu sama sekali belum pernah terjadi, sebab terjadinya suatu perceraian apabila setelah putusan cerai berkekuatan hukum tetap atau ikrar talak telah diucapkan di muka persidangan majelis hakim. Oleh karena itu pengadilan tingkat banding atau kasasi sangat terbuka untuk mengupayakan perdamaian.
Jika pada pemeriksaan perkara tingkat banding telah terjadi perdamaian sebelum perkara diputus, maka perkaranya dicabut dengan persetujuan kedua belah pihak (suami isteri) yang berperkara. Dengan dicabutnya perkara tersebut, maka pengadilan tingkat banding membuat “penetapan” yang isinya : mengijinkan pihak pembanding untuk mencabut perkaranya dan membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama yang mengabulkan perceraian itu karena terjadi perdamaian sebelum putusan memiliki kekuatan hukum tetap, serta menyatakan bahwa kedua belah pihak tersebut masih dalam ikatan perkawinan yang syah dan tetap berpegang pada akta nikah yang dimilikinya.
Apabila putusan perceraian pada tingkat banding diajukan kasasi, kemudian terjadi perdamaian sebelum Mahkamah Agung menjatuhkan putusannya, maka kedua belah pihak dapat mencabut kasasinya, disebabkan telah terjadi perdamaian. Kemudian Mahkamah Agung membuat “penetapan” yang isinya mengijinkan pemohon kasasi untuk mencabut perkaranya, membatalkan putusan cerai yang dikeluarkan oleh pengadilan tingkat banding karena terjadi perdamaian sebelum perkara perceraian memiliki kekuatan hukum tetap dan menyatakan bahwa kedua belah pihak tersebut masih tetap dalam ikatan perkawinan yang berdasar akta nikah yang dimilikinya.
7. Sidang Perkara Perceraian Tertutup untuk Umum
Pemeriksaan perkara perceraian dilakukan dalam sidang tertutup. Termasuk dalam pemeriksaan para saksi harus dilakukan dengan persidangan tertutup, hal ini dimaksudkan untuk menjaga kerahasiaan yang prinsip dalam kehidupan rumah tangga kedua belah pihak, lebih-lebih menyangkut masalah nafkah batin. Dan tidak ketinggalan pula dalam hal pemeriksaan perkara pembatalan perkawinan. Pemeriksaan perkara perceraian dilakukan dengan cara tertutup mulai dari sidang perdamaian. Pernyataan sidang tertutup tersebut harus dimuat dalam berita acara persidangan.
Hak Ingkar (Wraking) Terhadap Hakim
Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya. Yang dimaksud dengan hak ingkar adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alas an terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.
Sesungguhnya tanpa harus menunggu permohonan hak ingkar dari pihak yang berperkara maupun dari ketua pengadilan, hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipuntelah bercerai. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin peradilan yang obyektif dan tidak memihak.
Apabila diketahui hakim yang akan menyidangkan terkait hubungan-hubungan sebagai mana tersebut di atas dengan pihak-pihak yang berperkara dan tidak mengundurkan diri, maka Ketua Pengadilan Agama harus memerintahkan hakim tersebut untuk mundur. Apabila hakim tersebut adalah ketua pengadilan sendiri, maka perintah pengunduran dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tingkat Banding, apabila hakim yang seharusnya mengundurkan diri masih tetap melakukan pemeriksaan dan sampai pada putusan, maka perkara harus segera diperiksa dan diputus ulang dengan susunan majelis yang berbeda, dan putusan yang telah terlanjur diucapkan menjadi batal demi hukum.
F. 3. Perubahan Gugatan
Perubahan bias berarti menambah, mengurangi bahkan bias jadi mencabut gugatan. Hal ini bias dilakukan penggugat, dengan ketentuan harus diajukan pada sidang pertama yang dihadiri pihak tergugat dalam persidangan, namun demikian harus ditawarkan kepada pihak tergugat untuk melindungi haknya, dikecualikan dalam hal pencabutan, yakni gugatan dapat dicabut secara sepihak jika perkara belum diperiksa, tetapi jika perkara sudah diperiksa dan tergugat telah memberikan jawaban, maka pencabutan perkara harus mendapat persetujuan dari tergugat.
Perubahan yang bersifat menyempurnakan, menegaskan atau menjelaskan surat gugatan adalah diperbolehkan, demikian juga dalam hal mengurangi tuntutan, menurut putusan kasasi Nomor 209 K/Sip/1970 tanggal 6 Maret 1971, bahwa perubahan gugatan tidak bertentangan dengan asas-asas hukum perdata, dengan catatan tidak mengubah atau menyimpang dari kejadian materiil, walaupun tidak ada tuntutan subsider.
Beberapa kemungkinan melakukan perubahandalam suatu gugatan adalah meliputi hal-hal sebagai berikut :
1) Perubahan Total, gugatan diubah baik mengenai positanya maupun petitumnya, hal ini tidak dibenarkan karena mengakibatkan tergugat merasa dirugikan haknya untuk membela diri.
2) Perbaikan, maksudnya adalah melakukan perbaikan surat gugatan yang menyangkut hal-hal yang tidak prinsip hanya terbatas mengenai format, titik, koma atau kata.
3) Pengurangan, mengurangipada bagian-bagian tertentu dalam posita ataupun petitumnya, hal ini diperbolehkan, sebagai contoh semula penggugat menuntut nafkah madhiyah dalam komulasi perkara perceraian, namun hal tersebut dihilangkan karena tidak inginberbelit-belit.
4) Penambahan, melakukan penambahan dalam positaatau petitumnya, hal ini sering terjadi di mana dalam positanya telah diungkap panjang lebar, namun pada petitumnya tidak terdapat tuntutan.
Perubahan gugatan bila dilakukan secara tertulis jugabisa dengan lisan di muka persidangan majelis hakim, perubahan bisa dilakukan sepanjang tergugat belum memberikan jawaban, apabila sudah memberikan jawabannya, maka tergugat berkesempatan untuk setuju atau tidak setuju. Perubahan tidak dibenarkan dilakukan setelah pembuktian, dimana tinggal menunggu putusan majelis hakim.
Apabila penggugat bersikukuh mempertahankan gugatanatau permohonan yang diajukan dan tidak melakukan perubahan dalam surat gugatannya serta tidak mau berdamai, maka sidang dilanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu jawaban tergugat.
F. 4. Jawaban Tergugat
Jawaban tergugat bisa dilakukan secara tertulis dan bisa dilakukan secara lisan. Di dalam mengajukan jawaban, tergugat bisa hadir secara pribadi atau mewakilkan kepada kuasa hukumnya. Ketidakhadiran tergugat secara pribadi atau wakilnya dalam sidang, walaupun mengirimkan surat jawaban, maka dalam hal seperti ini hakim harus mengenyampingkannya, kecuali dalam hal jawaban berupa eksepsi atau tangkisan bahwa pengadilan yang bersangkutan tidak berwenang mengadili perkara itu.
Pada tahap jawaban tergugat, ada beberapa kemungkinan yang bias dilakukan tergugat, yakni :
a. Eksepsi
Adalah sanggahan atau perlawanan yang dilakukan pihak tergugat terhadap gugatan penggugat yang tidak mengenai pokok perkara dengan maksud agar hakim menetapkan gugatan dinyatakan tidak diterima atau ditolak.
Penggugat yang mengajukan eksepsi disebut “excipien”. Ada 2 (dua) bentuk eksepsi, yakni dalam bentuk “prosesual eksepsi” (eksepsi formil) yakni eksepsi yang berdasar hukum formil dan dalam bentuk “materiil eksepsi” yaitu eksepsi dalam bentuk materiil.
b. Mengakui Sepenuhnya
Apabila seluruh dalil-dalil gugatan yang diajukan penggugat diakui sepenuhnya dalam tahap jawaban tergugat di persidangan, maka perkara dianggap telah terbukti dan gugatan dapat dikabulkanseluruhnya, dikecualikan dalam hal gugatan perceraian.
Khusus perkara perceraian, meskipun mungkin tergugat telah mengakui sepenuhnya mengenai alasan-alasan cerai yang diajukan penggugat, namun hakim tidak serta merta menerimanya, hakim harus berusaha menemukan kebenaran materiil alasan cerai tersebut dengan alat bukti yang memadai. Hal ini mengingat bahwa :
1) Perceraian adalah sesuatu yang dimurkai Allah. Karena meskipun perceraian itu telah mencapai suatu kondisi hukum yang halal karena telah mempunyai alasan-alasan yang cukup namun tetap dibenci oleh Allah SWT. Apalagi perceraian yang makruh lebih-lebih yang haram.
2) Undang-undang Perkawinan mempunyai prinsip mempersulit perceraian, karena begitu beratnya akibat perceraian yang terjadi baik bagi bekas suami maupun bekas isteri dan terutama bagi anak-anak mereka.
3) Untuk menghindari adanya kebohongan-kebohongan besar dalam hal perceraian tersebut.
c. Mengingkari Sepenuhnya
Jika tergugat dalam jawabannya mengingkari sepenuhnya dalam alasan-alasan yang diajukan penggugat dalam surat gugatannya, maka pemeriksaan dilanjutkan pada tahap berikutnya sampai dapat dibuktikan sebaliknya.
d. Mengakui dengan Klausula
Jika alasan-alasan atau sebagian alasan gugatan diakui tergugat, maka pengakuan itu harus seutuhnya diterima dan hakim tidak boleh memisah-misahkan, dan pemeriksaan dilanjutkan sebagaimana biasa.
e. Jawaban Berbelit-belit (Referte)
Jika tergugat memberikan jawaban berbelit-belit atau menyerahkan sepenuhnya (tidak mengingkari juga tidak mengakui) kebijakan majelis hakim, maka pemeriksaan berlanjut sebagaimana biasa.
f. Rekonvensi
Diantara hak tergugat dalam berperkara di muka sidang adalah hak mengajukan gugat balik (rekonvensi) terhadap penggugat. Dalam hal demikian kedudukan tergugat dalam konvensi berubah menjadi penggugat dalam rekonvensi, sebaliknya penggugat dalam konvensi juga berubah menjadi tergugat dalam rekonvensi.
F. 5. Replik Penggugat
Tahapan berikutnya setelah tergugat menyampaikan jawabannya adalah menjadi hak pada pihak penggugat untuk memberikan tanggapan (replik) atas jawaban tergugat sesuai dengan pendapatnya. Kemungkinan dalam tahap ini penggugat tetap mempertahankan gugatannya dan menambah keterangan yang dianggap perlu untuk memperjelas dalil-dalilnya, atau kemungkinan juga penggugat mengubah sikap dengan membenarkan jawaban atau membantah jawaban tergugat.
F. 6. Duplik Tergugat
Apabila penggugat telah menyampaikan repliknya, dan tergugat dalam tahap ini diberikan kesempatan untuk menanggapi replik penggugat. Isinya membantah jawaban sekaligus replik penggugat. Yang perlu diketahui bahwa acara jawab menjawab (replik-duplik) dapat diulangi sampai ada titik temu atau titik perselisihan antara penggugat dan tergugat, sebagai masalah pokok yang akan dibawa ke tahap pembuktian.
F. 7. Pembuktian
Pada tahap pembuktian, kesempatan untuk mengajukan alat-alat bukti diberikan kepada pihak penggugat maupun tergugat secara berimbang, biasanya dalam praktik perkara perceraian beban pembuktian lebih ditekankan ke[ada pihak penggugat / pemohon dimaksudkan untuk menguatkan gugatannya atau permohonannya.
F. 8. Kesimpulan (Konklusi) Para Pihak
Pada tahap kesimpulan (konklusi), baik pihak penggugat maupun tergugat diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan pendapat sebagai kata akhir dalam proses pemeriksaan, kesimpulan tersebut sesuai dengan pandangan masing-masing pihak, disampaikan dengan singkat.
F. 9. Putusan atau Penetapan Hakim
Setelah melalui tahapan-tahapan dalam pemeriksaan, maka pada tahap akhir yang ditunggu-tunggu kedua belah pihak baik penggugat maupun tergugat adalah adanya putusan atau penetapan. Pada tahap ini hakim merumuskan duduk perkaranya dan pertimbangan hukum (berdasar pendapat hakim) mengenai perkara tersebut disertai alasan-alasan dan dasar hukumnya.
PEMBUATAN BERITA ACARA SIDANG PENGADILAN AGAMA
Berita acara persidangan pengadilan agama merupakan akta otentik, karena dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu, dan isinya adalah berupa hal ihwal secara lengkap mengenai pemeriksaan perkara dalam persidangan yang dijadikan pedoman hakim dalam menyusun putusan. Berita acara itu harus ditandatangani ketua majelis dan panitera sidang.
Adapun keberadaan Berita Acara Persidangan Pengadilan Agama adalah :
1) Fungsi
a. Sebagai akta otentik;
b. Sebagai dasar hakim dalam menyusun putusan;
c. Sebagai dokumentasi dan informasi keilmuan
2) Isi Berita Acara
a. Hal-hal yang harus dimuat dalam Berita Acara Persidangan
1. Pengadilan yang memeriksa;
2. hari, tanggal, bulan, dan tahun;
3. Identitas dan kedudukan pihak dalam perkara;
4. Susunan majelis hakim dan panitera sidang;
5. Pernyataan sidang dibuka dan terbuka untuk umum;
6. Keterangan kehadiran dan ketidakhadiran para pihak;
7. Upaya mendamaikan;
8. pernyataan sidang tertutup untuk umum;
9. Pembacaan surat gugatan;
10. pemeriksaan pihak-pihak;
11. Pernyataan sidang terbuka untuk umum pada waktu penundaan sidang terhadap sidang yang sebelumnya dinyatakan tertutup untuk umum;
12. Penundaan sidang pada hari, tanggal, bulan, tahun, jam dengan penjelasan perintah hadir tanpa dipanggil melalui relaas da atau dipanggil lagi melalui relaas;
13. Pernyataan sidang diskors untuk musyawarah majelis hakim;
14. Pernyataan sidang dibuka untuk membaca putusan;
15. Pernyataan sidang ditutup;
16. Penendatanganan oleh ketua majelis dan panitera / panitera pengganti.
b. Materi Persidangan Harus dimuat dalam Persidangan
1. jawab menjawab
2. pemeriksaan alat-alat bukti
3. keterangan saksi ahli (jika ada)
4. kesimpulan apabila dikehendaki para pihak
c. Susunan Kalimat
1. menggunakan kalimat langsung, yakni kalimat Tanya jawab langsung antara majelis hakim
dengan para pihak, para saksi, atau penerjemah;
2. menggunakan kalimat tidak langsung, maksudnya adalah kalimat yang disusun oleh panitera pengganti adalah dari Tanya jawab antara majelis hakim dengan para pihak atau saksi.
d. Format Berita Acara
Terdapat 2 (dua) format berita acara persidangan, yang bias dipilih yakni :
1. Format Balok, yaitu pengetikan dengan membagi halaman kertas menjadi dua bagian, bagian kiri untuk pertanyaan, sedangkan bagian kanan untuk jawaban;
2. Format iris talas, sebagaimana format balok, namun semakin kebawah bagian pertanyaan semakin menyempit, sedangkan bagian jawaban semakin melebar seperti iris talas.
e. Materi Berita Acara Persidangan
1. Yang ditulis hanyalah yang relevan saja;
2. Berita acara harus sudah selesai sebelum memasuki sidang berikutnya;
3. Kesalahan tulisan harus direnvoi;
4. Sebagai dasar menyusun putusan oleh hakim.
3) Pengetikan Putusan
Teknik pengetikan putusan diatur secara khusus, untuk itu dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Menggunakan kertas folio.
2. Margin kiri : 4 Cm, Margin atas : 3 Cm, Margin kanan : 2,3 Cm, Margin bawah : 3 Cm.
3. Kata P U T U S A N dengan huruf capital, direnggangkan hurufnya satu tust dan berada ditengah.
4. Tulis Nomor : /Pdt. /20 /PA…., ditulis ditengah kertas bagian atas.
5. Penulisan kalimat : BISMILLAHIRROHMANIRROHIM, DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, TENTANG DUDUK PERKARANYA, TENTANG HUKUMNYA, ditulis dengan huruf capital dan berada ditengah.
6. Penulisan kata “M E N G A D I L I” ditulis dengan huruf capital, berjarak hurufnya satu tust dan berada ditengah.
7. Alinia baru dimulai dengan 7 (tujuh) tust, berjarak dua spasi, husus untuk DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, dibawahnya dijarak empat spasi.
8. Nama penggugat/tergugat ditulis dengan huruf capital, disambung dengan identitas yang ditulis dengan huruf kecil, dan baris berikutnya ditulis lebih masuk 35 tust.
9. Setiap ahir halaman pada susun kanan bawah ditulis kata yang mengawali pada halaman berikutnya.
10. Isi amar putusan dimulai 7 tust dari margin kiri.
11. Penulisan HAKIM KETUA, HAKIM ANGGOTA, PANITERA PENGGANTI, berikut nama-namanya ditulis dengan huruf capital juga.
12. Rincian biaya perkara ditulis pada halaman terahir tiga Cm dari margin bawah.
13. Apabila ada yang harus diperbaiki karena :
- ST/Sah dit : bila terjadi kesalahan/perubahan/tambahan.
- SC/Sah dic: bila terjadi pencoretan.
- SG/Sah dlg : bila ingin diganti.
- Baik dalam SC, ST dan SG harus diparaf juga oleh Majlis Hakim.
14. Kata SALINAN dalam salinan putusan ditulis pada sudut kiri atas halaman pertama. Pada lembar terahir dengan posisi pada sebelah kanan dari rincian biaya perkara ditulis sebagai berikut:
Untuk salinan yang sama bunyinya
Oleh:
PANITERA PENGADILAN AGAMA ……….
15. Salinan putusan ditanda tangani oleh panitera, dan panitera pengganti memaraf pada sebelah kanan kalimat PANITERA PANGADILAN AGAMA …………., Sedangkan wakil panitera memaraf pada sebelah kiri.
16. Setiap halaman salinan putusan dibubuhi stempel pada kiri atas, kecuali halaman terahir dibubuhi stempel sebelah kiri tanda tangan panitera.
17. Format Berita Acara persidangan (BAP)
Format BAP harus ditulis serapi mungkin, yang meliputi :
a. Bentuk dan ukuran huruf harus konsisten dan rapi dengan menggunakan computer / mesin ketik.
b. Halaman yang sama separuh bagian kiri berisi pertanyaan, dan separuh bagian kanan berisi jawaban .
c. Disusun berurutan berdasar tahapan sidang, dikelompokkan mulai dari gugatan, jawaban, replik, duplik, alat bukti dari penggugat, tanggapan dari tergugatatas alat bukti penggugat, alat bukti tergugat, kesimpulan penggugat, kesimpulan tergugat, sikap penggugat dan tergugat serta para saksi.
d. Apabila terdapat kesalahan tulisan dalam BAP, cukup direnvoi saja.
e. Ditulis posisi/urutan persidangan (sidang pertama, sidang lanjutan I, sidang lanjutan II dan seterusnya), nomor halaman sebaiknya berurutan (tidak dipenggal-penggal), dan setiap mau masuk pada halaman berikutnya ditulis “kata pertama” dalam halaman itu dipojok kanan bawah yang diikuti titik seperlunya.
f. Jika persidangan dilakukan dengan cara tertulis, maka seluruh jawaban, replik, duplik disalin secara utuh dalam BAP.
18. Minutering (penandatanganan) berita acara persidangan.
a. BAP harus ditanda tangani oleh hakim ketua majlis dan panitera sidang. 207
b. Panitera sidang berkuwajiban membuat BAP, sedangkan Hakim ketua majlis bertanggung jawab atas kebenarannya.
c. Apabila hakim ketua majlis berhalangan untuk menandatangani BAP, beralih pada hakim anggota majlis yang lebih senior,208 Dan apabila panitera sidang berhalamgan untuk menandatanganinya, maka cukup dijelaskan dalam BAP itu. 209
d. Penandatanganan BAP dilakukan sebelum sidang berikutnya.
19. Pembuatan BAP pelaksanaan ikrar talak.
a. Formatdan isinya sama dengan BAP perkara biasa.
b. Harus ditulis kehadiran dan ketidak hadiran para pihak.
c. Apabila ada yang tidak hadir maka terlebih dahulu dibacakan relas oleh hakim ketua majlis.
d. Harus dicatat keadaan istri pada saat ikrar talak diucapkan oleh pemohon apakah istri dalam keadaan haidh, suci hamil, monopouse, qobla dukhul, bakda dukhul, dan lain-lain.
e. Harus ditulis redaksi “Ikrar Talak”.
f. Harus ditulis “Amar penetapan hakim”
g. Harus ditulis bahwa “sidang penyaksian ikrar talak terbuka untuk umum”.
H. Hak Opsi dalam perkara warisan.
Hak opsi dalam perkara warisan ialah hak memilih hukum warisan apa yang akan dipergunakan dalam menyelesaikan pembagian warisan.213. Penjelasan Umum angka 1 alenia 2 UU Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun1989 tentang Peradilan Agama, bahwa kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum UU Nomor 7 tahun1989 yang menyatakan “Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan dihapus, sebab ditinjau dari segi pendekatan hukum Islampemberian hak opsi itu kurang dapat dibenarkan, sebab seolah-olah membuka pintu bagi penganut agama Islam untuk meninggalkan hukum waris Islam dan lebih mengutamakan nilai-nilai hukum waris asing.
Penghapusan hak opsi menurut penjelasan Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 adalah dimaksudkan untuk memberikan wewenang kepada Pengadilan Agama untuk sekaligus memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan obyek sengketa antara orang-orangyang beragama Islam. Hal ini menghindari upaya memperlambat atau mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa milik atau keperdataan lainnya tersebut sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan dengan adanya gugatan di Pengadilan Agama. Sebaliknya apabila sobyek yang mengajukan sengketa hak milik atau keperdataan lain tersebut bukan yang menjadi subyek bersengketa di Pengadilan Agama, sengketa di Pengadilan Agamaditunda untuk menunggu putusan gugatan diajukan kepengadilan dilingkungan Peradilan umum, Penangguhan dimaksud hanya dilakukan jika pihak yang berkeberatan telah mengajukan bukti ke Pengadilan Agama bahwa telah didaftarkan gugatan di Pengadilan Negeri terhadap obyek sengketa yang sama dengan sengketa di Pengadilan Agama. Dalam hal obyek sengketa lebih dari satu obyek dan yang tak terkait dengan obyeksengketa yang diajukan keberatannya, Pengadilan Agama tidak perlu menangguhkan putusannya terhadap obyek sengketa yang tidak terkait dimaksud.
Apabila terjadi dalam suatu perkara kewarisan yang sama diajukan gugatannyake pengadilan yang berlainan, satu pihak mengajukan ke Pengadila Agama dan satu pihak ke Pengadilan Negeri, maka hal ini diselesaikan oleh Mahkamah Agung yang mengadili tentang sengketa kewenangan. Dalam hal ini maka baik Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri harus menghentikan pemeriksaan perkara tersebut dan masing-masing mengirimkan berkas perkara tersebut ke Mahkamah Agung untuk ditetapkan Mahkamah Agung, Pengadila mana yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut.
Ada dua cara untuk menghentikan pemeriksaan perkara dalam praktik peradilan Agama, yakni :
a. Membuat catatan dalam berita acara, atau
b. Membuat penetapan.
Eksepsi
Jawaban tergugat bias terdiri dari dua macam, yakni pertama jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara yang disebut dengan eksepsi. Kedua, jawaban tergygat mengenai pokok perkara (verweer ten principle)
Arti harfiah eksepsi adalah tangkisan, sedangkan pengertiannya adalah suatusanggahan atau tangkisan yang dilakukan tergugat terhadap gugatan penggugat dimuka sidang Pengadilan Agama dan sanggahan tersebut tidak mengenai pokok perkara. Istilah lain bagi tergugat yang mengajukan sanggahan (eksepsi) adalah disebut “excipient”, maksud pengajuan eksepsi adalah agar hakim menetapkan gugatan tidak diterima atau ditolak. 229
Untuk memudahkan pemahaman kita dalam memaknai eksepsi, maka eksepsi dibedakan menjadi dua macam, yakni:
1. Eksepsi Formil (“Prosessual eksepsi”)
Eksepsi formil adalah eksepsi yang berdasar pada hukum formal (Hukum acara) yang berlaku.
Hukum formil meliputibeberapa bentuk, yaitu :
1.a. Eksepsi mengenai kewenangan absolut.
Kewenangan absolut ini diatur dalam Pasal: 125 ayat (2), 134 dqn Pasal 136 HIR, / Pasal : 149 ayat (2) dan Pasal. 162 RBG. Istilah lain eksepsi absolut adalah attributief exceptie. Sedang yang dimaksud dengan eksepsi absolut ialah pernyataan ketidakwenangan suatu pengadilan untuk menerima, memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang sebenarnya menjadi kewenangan pengadilain lain dalam lingkungan peradilan yang berbeda.
Eksepsi absolut dapat diajukan di setiap saat dan disetiap tahap pemeriksaan, walaupun tidak diminta oleh pihak tergugat (Exepient), namun hakim secara ex ofisio harus menyatakan dirinya tidak berwenang memeriksa perkara tersebut. Apabila eksepsi tehadap kompetensi absolut disetujui, maka putusan dinyatakan secara negatif bahwa pengadilan tidak berwenang , bila eksepsi terhadap kompetensi absolut tidak disetujui maka hakim melalui putusan sela menyatakan eksepsi ditolak atau diputus bersamaan dengan pokok perkara pada putusan ahir.
Apabila eksepsi terhadap kewenangan absolut diterima, maka hakim akan menjatuhkan putusan (bukan bentuk penetapan) sebagai berikut :
- Mengabulkan eksepsi tergugat.
- Menyatakan bahwa eksepsi tergugat adalah tepat dan beralasan.
- Menyatakan pula bahwa pengadilan Agama tertentu tidak berwenang mengadili perkara tersebut.
- Menghukum penggugat untuk membayar biaya dalam perkara ini yang hingga saat ini diperhitungkan sebanyak sekian.
Putusan tersebut adalah merupakan putusan akhir (eind vonnis) dan dapat dimintakan banding atau kasasi. Karena berbentuk putusan akhir maka penggugat dapat melakukan upaya banding terhadap putusan yang telah mengabulkan eksepsi tersebut.
Apabila eksepsi tersebut tidak diterima, maka hakim akan menjatuhkan putusan sela sebagai berikut :
- Sebelum memutus pokok perkara.
- Menolak eksepsi tergugat tersebut.
- Menyatakan bahwa Pengadilan Agama tertentu berwenang mengadili perkara tersebut.
- Memerintahkan kepada kedua belah pihak untuk melanjtkan perkaranya.
- Menangguhkan putusan tentang biaya perkara hingga putusan akhir.
1.b. Eksepsi mengenai kompetensi relatif.
Kewenangan relatif ini diatur dalam Pasal 118 dan 133 HIR / pasal 142 dan 159 RBG, istilah lain eksepsi relatif adalah distributief exeptie. Sedang yang dimaksud dengan eksepsi relatif adalah ketidak wewenangannya suatu pengadilan untuk menerima, memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang sebenarnya menjadi kewenangan pengadilan lain dalam lingkungan peradilan yang sama.
Berbeda dengan eksepsi absolute, bahwa eksepsi relatif harus diajukan pada sidang pertama, atau pada kesempatan pertama dan eksepsi dimuat bersama-sama dengan jawaban, bila eksepsi kompetensi relatif disetujui, maka pengajuan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.
Manakala eksepsi terhadap kompetensi relatif tidak disetujui, maka hakim memutus hal tersebut bersamaan dengan pokok perkara, dan tidak tertutup kemungkinan exipient untuk banding yang diajukan berasama dengan putusan pokok perkara.234
Dalam perkara perceraian, jika perkara perceraian diajukan ke Pengadilan Agama yang tidak berwenang maka hakim secara ex officio harus menyatakan diri tidak berwenang , hal ini dimaksudkan untuk melindungi hak istri.235
Apabila eksepsi ini tidak disetujui maka perkara diperiksa dan diputus dengan “putusan sela“. Upaya hukum terhadap putusan eksepsi ini dapat dilakukan hanya bersama-sama putusan pokok perkara, Tetapi jika eksepsi ini disetujui, maka gugatan penggugat dinyatakan tidak diterima dan pemeriksaan terhadap pokok perkara dihentikan.
Bagi pihak yangtidak puas dengan putusan eksepsi relatif, dapat mengajukan banding.236.
Eksepsi relatif terdiri dari beberapa macam, namun tidak disebutkan dalam HIR. Walaupun demikian dalam praktek dipergunakan juga dalam beracara di Pengadilan Agama, beberapa macam eksepsi relatif tersebut antara lain adalah :
1.c. Eksepsi Nebis in idem (eksepsi van gewijsde zaak).
Suatu perkara tidak dapat diputus dua kali, sehingga suatu perkara yang sama antara pihak-pihak yang sama di pengadilan yang sama pula, tidak dapat diputus lagi. Apabila hal itu diajukan lagi oleh salah satu pihak maka pihak lain dapat menangkisnya dengan alasan “Nebis in idem”.
1.d Eksepsi Diskualifikator.
Yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa penggugat tidak mempunyai hak untuk mengajukan gugatan atau permohonan, atau kemungkinan salah penggugat menentukan tergugat baik mengenai orangnya dan/identitasnya.
1.e. Eksepsi Obbscurlible.
Eksepsi dilakukan karena adanya suatu kekaburan surat gugatan yang diajukan penggugat, kekaburan bias jadi karena tidak dapat dipahami mengenai susunan kalimatnya, formatnya, atau hubungan satu dengan lainnya tidak saling mendukung bahkan bertentangan.
2. Materiil Exceptie.
Yaitu eksepsi yang diajukan oleh pihak tergugat atau termohon betrdasarkan hukum materiil atau eksepsi yang langsung mengenai materi perkara atau bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale). Eksepsi materiil ini dibedakan menjadi :
2.a. Prematoir Exeptie.
Yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa tuntutan penggugat belum dapat dikabulkan karena belum memenuhi syarat menurut hukum. Misalnya alasan perkara gugatan belum memenuhi waktu yang ditetapkan oleh Undang-undang atau apa yang digugat masih bergantung pada syarat-syarat tertentu (aan banging geding subjudice).
Contoh perkara gugat cerai karena pelanggaran ta’liq talak yang diajukan istri, dengan tuduhan suami selama tiga bulan tidak memberikan nafkah baginya, padahal suami tidak memberikan nafkah kurang dari tiga bulan sebagaimana alasan yang dibuat istri sebagai penggugat.
2.b. Dilatoir Exceptie.
Adalah Eksepsi yang menghalangi dikabulkannya gugatan, misalnya oleh karena gugatan telah diajukan lampau waktu, seperti gugatan telah lampau waktu (verjaarch), nafkah istri yang terhutang telah terhapus dengan rujuknya suami, dan sebagainya..
Gugat Balik / Rekonvensi
Gugat balik atau gugat dalam rekonvensi diatur dalam Pasal. 132 (a) dan Pasal 132 (b) HIR. Kedua pasal tersebut memberi kemungkinan bagi tergugat atau para tergugat untuk mengajukan gugatan balik kepada penggugat. Yng disebut dengan gugat rekonvensi adalah gugatan balasan yang diajukan oleh tergugat asli (penggugat dalam rekonvensi) yang digugat adalah penggugat asli (tergugat dalam rekonvensi) dalam sengketa yang sedang berjalan antara mereka. Penggugat rekonvensi dapat juga menempuh jalan lain yakni dengan mengajukan gugatan baru dan tersendiri, lepas dari gugat asal.
Gugat balasan diajukan bersama=sama dengan jawaban, baik itu berupa jawaban lisanatau tertulis, dalam praktik gugat balasan dapat diajukan selama belum dimulai dengan pemeriksaan bukti, artinya belumsampai pada pendengaran keterangan saksi. Sedang tujuan diperbolehkan mengajukan gugatan balasan atas gugatan penggugat adalah:
1. Bertujuan menggabungkan dua tuntutan yang berhubungan.
2. Mempermudah prosedur.
3. Menghindarkan putusan-putusan yang saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya.
4. Menetralisir tuntutan konvensi.
5. Acara pembuktian dapat disederhanakan.
6. Menghemat biaya.
Gugatan rekonvensi hendaknya berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan hukum kebendaan, bukan yang berhubungan dengan hukum perorangan atau berkaitan dengan status seseorang.237 Sebagai contoh dalam praktek sidang peradilan agama, jika suami selaku pemohon, kemudian pihak istri selaku termohon menuntut kepada pihak suami sebagai pemohon asal perihal nafkah wajib, mut’ah, kiswah, mas kawin dan pemeliharaan anak, Begitu juga bila istri mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya baik dengan jalan pelanggaran ta’lik talak (Sighot ta’lik talak) maupun syiqoq, maka pihak suami sebagai tergugat mengajukan gugat balik (rekonvensi) tentang harta bersama, pemeliharaan anal dan lain-lain.238
Beberapa syarat gugat rekonvensi diajukan dimuka persidangan pengadilan agama, yakni :
1. Gugatan rekonvensi harus diajukan bersama-sama dengan jawaban pertamaoleh tergugat baik tertulis maupun dengan lisan.239. namun menurut Wiryono Projodikoro, gugatan rekonvensi masih dapat diajukan dalam acara jawab menjawabdan sebelum acara pembuktian.
2. Tidak dapat diajukan dalam tingkat banding, bila dalam tingkat pertama tidak diajukan.240.
3. Penyusunan gugatan rekonvensi sama dengan gugatan konvensi.
Baik gugat asal (konvensi) maupun gugatan balik (rekonvensi) pada umumnya diselesaikan secara sekaligus dengan satu putusan, dan pertimbangan hukumnya memuat dua hal, yakni pertimbangan hukum dalam konvensi dan pertimbangan hukum dalam rekonvensi.
Menurut ketentuan pasal 132 (a) HIR dan pasal 157 R.Bg dalam setiap gugatan, tergugat dapat mengajukan rekonvensi terhadap penggugat, kecuali dalam tiga hal, yaitu: 241.
1. Penggugat dalam kualitas berbeda.
Rekonvensi tidak boleh diajukan apabila penggugat bertindak dalam suatu kualitas (sebagai kuasa hukum), sedangkan rekonvensinya ditujukan kepada diri sendiri pribadi penggugat (pribadi kuasa hukum tersebut).
2. Pengadilan yang memeriksa konvensi tidak berwenang memeriksa gugatan rekonvensi.
Gugatan rekonvensi tidak diperbolehkan terhadap perkara yang tidak menjadi wewenang Pengadilan Agama, seperti suami menceraikan istri, istri mengajukan rekonvensi , mau cerai dengan syarat suami membayar hutangnya kepada orang tua istri tersebut. Masalah sengketa hutang piutang bukan kewenangan pengadilan agama.
3. Perkara mengenai pelaksanaan putusan.
Gugatan rekonvensi tidak boleh dilakukan dalam hal pelaksanaan putusan hakim. Seperti hakim memerintahkan tergugat untuk melaksanakan putusan, yaitu menyerahkan satu unit mobil Daihatsu Taruna kepada penggugat, kemudian tergugat mengajukan rekonvensi supaya penggugat membayar hutangnya yang dijamin dengan mobil tersebut kepada pihak ketiga, rekonvensi seperti ini harus dittolak.
A. Pencabutan dan Mengubah surat Gugatan.
Perihal mengubah bias berarti menambah, mengurangi, bahkan bias jadi berubah sikap untuk mencabut surat gugatan. Secara tegas tidak diatur dalam HIR atau R.Bg, dengan demikian hakim ada keleluasaan untuk menentukan sampai dimana penambahan atau pengurangan surat gugatan itu akan akan diperbolehkan, dengan selalu memperhatikan kepentingan kedua belah pihak, terutama kepentingan pihak tergugat sebagai pihak yang digugat, bagi tergugat berhak membela diri, dengan harapan tidak dirugikan dengan adanya perubahan atau penambahan dalam gugatan tersebut. Disamping itu perubahan atau penambahan yang dilakukan penggugat tidak bertentangan dengan asas-asas hukum acara perdata, disamping tidak mengubahatau menyimpang dari fakta materiil walaupun tidak ada tuntutan subsider.
Perubahan gugatan tidak diperbolehkan apabila berdasar atas keadaan hukum yang sama dimohon pelaksanaan suatu hak yang lain atau apabila penggugat mengemukakan keadaan baru sehingga dengan demikian mohon putusan hakim tentang suatu hubungan hukum antara kedua belah pihak yang lain dari pada yang semula telah dikemukakan.
Contoh perubahan gugatan, semula gugatan perceraian adalah karena perzinahan, kemudian mohon diubah sehingga dasar gugatan perceraian menjadi keretakan rumah tangga yang tidak dapat diperbaki (Onheel bare tweespact). Sebagai contoh penembahan gugatan , dalam hal permohonan agar gugatan ditambah dengan petitum dimaksudkan agar putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoer bij voorraad).
Perihal penembahan atau pengurangan atau perubahan gugatan yang dimohon oleh pihak penggugatsetelah tergugat menyampaikan jawaban, hal itu harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari tergugat, apabila pihak tergugat menyatakan kewberatan, maka permohonan mengenai perubahan tau penambahan atau pengurangan gugatan tersebut harus ditolak.
Sebagai contoh dalam permohonan cerai talak, bila pemohon melakukan perubahan atau tidak jadimenjatuhkan talak, maka hal ini akan menguntungkan bagi termohon untuk bersatu kembali, tetapi apabila termohon ternyata menginginkan untuk dicerai, maka hal tersebut akan merugikan termohon, sehingga termohon harus mengajukan gugatan sendiri. Artinya si istri harus mengajukan gugatan cerai kepada pengadilan.
Mengubah gugatan diperbolehkan sepanjang masih dalam tahap pemeriksaan perkara, dengan catatan tidak sampai pada mengubah atau menambah (“onderwerp van geschil”) petitum atau pokok tuntutan. Dalam arti lain perubahan gugatan dapat dikabulkan asal tidak melampaui batas-batas materi pokok pertama yang dapat dikabulkan kerugian pada hak-hak pembelaan tergugat. Dan perubahan gugatan tidak dibenarkan apabila pemeriksaan perkara sudah hamper selesai, pada saat mana dalil-dalil tangkisan sudah disampaikan.
Sehubungan dengan asas kedudukan majlis hakim memimpin persidangan adalah aktif dan dibebani fungsi memberi bantuan dalam hal-hal yang bertujuan memperlancar perkara dan tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Hakim secara bijaksana harus menawarkan bahkan menyarankan kepada penggugat apabila terdapat hal-hal dalam suratgugatan untuk diubah, ditambah atau dikurangi, apabila hal tersebut sangat diperlukan untuk mempercepat penyelesaian perkara. Berkaitan dengan pencabutan gugatan atau permohonan oleh penggugat adalah tidak diatur dalah HIR atau R.Bg, namun dalam praktek gugatan dapat saja dicabut oleh penggugat secara sepihak dengan catatan apabila perkara belum diperiksa, apabila perkara sudah diperiksa dan tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu maka pencabutan perkara tersebut haruys mendapat persetujuan dari pihak tergugat.
Apabila gugatan dicabut sebelum perkara diperiksa maka dianggap seperti belum pernah diajukan. Akan tetapi bila gugatannya dicabut setelah perkara sudah mulai diperiksa dan tergugat tidak menyetujui pencabutan ini, maka hakim akan memberikan keputusannya terhadap perkara itu berupa penetapan.
B. Intervensi.
Pembahasan mengenai intervensi adalah tidak diatur dalam HIR dan RBg, dan juga dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama , hal itu diatur dalam RV pasal 279 sampai dengan pasal 282, namundemikian pasal dalam RV tersebut berlaku juga dalam proses persidangan di Pengadilan Agama. Yang dimaksud dengan intervensi adalah suatu aksi hukum oleh pihak yang berkepentingan dengan jalan melibatkan diri dalam suatu perkara perdata yang sedang berlangsung antara kedua pihak yang berperkara.
Dalam Reglement op de burgerlijke rechtsvordering (RV) terdapat dua bentuk intervensi, yaitu intervensi yang bersifat menengahi (tussenkomst) dan intervensi yang bersifat menyertai (voeging). Kecuali dua bentuk intervensi tersebut dijumpai juga dalam praktek intervensi vrijwaring.
a. Tussenkomst (menengahi)
Yang disebut dengan menengahi (tussenkomst) adalah aksi hukum pihak ketiga dalam perkara perdata yang sedang berlangsung dan membela kepentingannya sendiri untuk melawan kedua pihak yang sedang berperkara.
Dengan keterlibatannya pihak ketiga sebagai pihak yang berdiri sendiri dan membela kepentingannya, maka pihak ketiga ini melawan kepentingan penggugat dan tergugat yang sedang berperkara, pihak ketiga tersebut disebut intervenent. Apabila intervensi dikabulkan maka perdebatan menjadi perdebatan segi tiga. Intervensi dalam bentuk tussenkomst bias terkabulkan dan bias juga ditolak, pengabulan atau penolakan tersebut dalam bentuk putusan sela, dalam hal ini putusan insidentil.
Dikabulkannya intervensi tusskomst, putusannya dijatuhkan sekaligus dalam satu putusan, apakah penggugat atau tergugat yang menang atau ataukah intervenent yang menang, yang pasti adalah bahwa salah satu dari kedua gugatan itu yang dikabulkan atau mungkin juga kedua-duanya ditolak.
Ciri-ciri tussenkomst:
- Sebagai pihak ketiga yang berkepentingan dan berdiri sendiri.
- Adanya kepentingan untuk mencegah timbulnya kerugian, atau kehilangan haknya yang mungkin terancam.
- Melawan kepentingan kedua belah pihak yang berperkara.
- Dengan memasukkan tuntutan terhadap pihak-pihak yang berperkara (Penggabungan tuntutan).
Syarat-syarat mengajukan tussenkomst adalah :
- Merupakan tuntutan hak.
- Adanya kepentingan hukum dalam sengketa yang sedang berlangsung.
- Kepentingan tersebut harus ada hubungannya dengan pokok perkara yang sedang berlangsung.
- Kepentingan mana untuk mencegah kerugian atau mempertahankan hak puihak ketiga.
Keuntungan tussenkomst:
- Prosedur beracara dipermudah dan disederhanakan.
- Proses berperkara dipersingkat.
- Terjadi penggabungan tuntutan.
- Mencegah timbulnya putusan yang saling bertentangan.
Mengenai prosedur acaranya adalah pihak ketiga yang berkepentingan mengajukan gugatan kepada Ketua Pengadilan Agama dengan melawan pihak yang sedang bersengketa (Penggugat dan tergugat) dengan menunjuk nomor dan tanggal perkara yang dilawan tersebut. Suarat gugatan disusun seperti gugatan biasa dengan memuat identitas, posita dan potitum. Surat gugatan tersebut diserahkan ke meja I yang selanjutnya diproses seperti gugatan biasa , dengan membayar biaya tambahan panjar perkara tetapi tidak diberi nomor perkara baru melainkan memakai nomor perkara yang dilawan tersebut dan dicatat dalam regester, nomor dan kolom yang sama.
Yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Agama adalah mendisposisikan kepada majlis hakim yang menangani perkara itu. Kemudian ketua majlis mempelajari gugatan intervensi tersebut dan membuat “penetapan” yang isinya memerintahkan kepada juru sita agar pihak ketiga tersebut dipanggil dalam sidang yang akan dating untuk pemeriksaan gugatan intervensi tersebut bersama pihak lawan. Terhadap intervensi tersebut hakim akan menjatuhkan putusan “sela” untuk mengabulkan atau menolak intervensi tersebut. Apabila dikabulkan maka intervenient ditarik sebagai pihak dalam sengketa yang sedang berlangsung.
b. Voeging (menengahi).
Yang disebut dengan voeging yaitu suatu aksi hukum oleh pihak yang berkepentingandengan jalan memasuki perkara perdata yang sedang berlangsung antara penggugat dan tergugat untuk bersama-sama tergugat untuk menghadapi penggugat. Perbedaannya dengan tussenkomst adalah keberpihakannya ditujukan langsung kepada pihak tergugat.
Ciri-ciri voeging:
- Sebagai pihak yang berkepentingan dan berpihak kepada salah satu pihak dari penggugat atau tergugat.
- Adanya kepentingan hukum untuk melindungi dirinya sendiri dengan jalan membela salah satu yang bersengketa.
- Memasukkan tuntutan terhadap pihak-pihak yang berperkara.
Syarat-syarat untuk mengajukan voeging adalah :
1. Merupakan tuntutan hak
2. Adanya kepentingan hukum untuk melindungi dirinya dengan jalan berpihak kepada tergugat.
3. Kepentingan tersebut haruslah ada hubungannya dengan pokok perkara yang sedang berlangsung.
Keuntungan voeging adalah :
- Prosedur beracara dipermudah dan disederhanakan.
- Proses berperkara dipersingkat.
- terjadinya penggabunga tuntutan
- Mencegah timbulnya putusan yang saling bertentangan.
Prosedur acaranya adalah pihak ketiga yang berkepentingan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Agama dengan mencampuri yang sedang bersengketa, yaitu penggugat dan tergugat untuk bersama-sama salah satu pihak menghadapi pihak lain guna kepentingan hukumnya. Permohonan dibuat seperti gugatan biasa dengan menunjuk nomor dan tanggal perkara yang akan diikutinya itu.
Permohonan voeging dimasukkan pada meja pertama dan diproses oleh kasir dan meja II sampai pada ketua, kemudian ketua Pengadilan Agama menyerahkan berkas tuntutan itu lewat panitera kepada majlis hakim yang menangani perkara itu, kemudian majlis hakim memberikan penetapan , dengan isi penetapan menolak atau menerima pihak ketiga untuk turut campur dalam sengketa tersebut, apabila dikabulkan maka permohonan ditarik sebagai pihak dalam sengketa yang sedang berlangsung.
A. Vrijwaring (penarikan)
Vrijwaring atau penarikan pihak ketiga dalamperkara adalah suatu aksi hukum yang dilakukan oleh tergugat untuk menarik pihak ketiga dalam perkara guna menjamin kepentingan tergugat menghadapi gugatan penggugat.
Adapun cirri-ciri Vrijwaring adalah :255
- Merupakan penggabungan tuntutan.
- Salah satu pihak yang bersengketa menarik pihak ketiga didalam sengketa.
- Keikut sertaan pihak ketiga timbul karena dipaksa dan bukan karena kehendaknya.
- Tujuan salah satu pihak (tergugat) menarik pihak ketiga adalah agar pihak ketiga yang ditarik dalam sengketa yang sedang berlangsung akan membebaskan pihak yang memanggilnya (tergugat) dari kemungkinan akibat putusan tentang pokok perkara.
Prosedur Vrijwaring tergugat dalam jawabannya atau dupliknya memohon kepada majlis hakim yang memeriksa perkaranya agar pihak ketiga yang dimaksudkan oleh tergugat sebagai penjamin ditarik masuk kedalam proses perkara untuk menjamin tergugat.Majlis hakim dengan penetapan yang dimuat dalam berita acara persidangan memerintahkan memanggil pihak ketiga tersebut dalam persidangan yang akan datanguntuk pemeriksaan vrijwaring bersama-sama penggugat dan tergugat .
Dari hasil pemeriksaan itu hakim menjatuhkan “putusan sela” untuk menolak atau mengabulkan permohonan vrijwaring tersebut. Apabila dikabulkan maka pihak pihak ketiga ditarik masuk dalam proses perkara tersebut.
C. Komulasi Gugatan.
Komulasi gugatan tidak diatur dalam HIR atau BW, bahwa yang disebut dengan gugatan adalah diajukan oleh seorang, karena ia merasa haknya dilanggar. Jadi dalam hal ini ada kepentingan dari yang bersangkutan sehubungan dengan pe3ngajuan gugatan tersebut, yaitu adanya suatu fakta hukum yang menjadi dasar gugatan. Komulasi yang tidak ada hubungannya sama sekali adalah tidak benar.
Pada umumnya gugatan harus berdiri sendiri , penggabungan gugatan yang diperkenankan sepanjang masih dalam batas-batas tertentu, yaitu apabila pihak penggugat atau pihak tergugat adalah mereka yang secara nyata telah bersengketa yang diajukan dimuka persidangan dan dalam penggabungan gugatan itu memang sudah diatur dalam undang-undang, sebagai contoh gugatan perceraian, didalamnya terdapat masalah lain yang melekat pada gugatan perceraian tersebut, seperti pembagian harta bersama, nafkah anak, nafkah istri dan penguasaan anak.
Contoh lain dalam hal gugatan hak waris, apabila suatu warisan diperebutkan oleh beberapa ahli waris, maka hal tersebut adalah diperbolehkan karena yang menjadi persengketaan pada hakekatnya adalah satu persoalan tentang kewarisan, bahkan hal ini sudah menjadi yurisprodensi Mahkamah Agung, bahwa dalam hal gugatan mengenai warisan, penggugat harus menggugat semua ahli waris sebagai pihak dalam perkara waris tersebut.
Permohonan penggabungan gugatan itu apabila diajukan oleh penggugat harus diajukan dalam surat gugatan kedua atau gugatan yang berikutnya, sedangkan apabila diajukan oleh pihak tergugat, maka hal itu harus diajukan bersama-sama dengan jawaban pertama, apabila permohonan dikabulkan , maka perkara yang baru itu akan diserahkan kepada majlis hakim yang memeriksa perkara yang pertama untuk digabungkan, penggabungan dan komulasi gugatan diatur dalam pasal 134 dan 135 RV. Dalam bahasa Belanda disebut dengan voeging van zaken, untuk menggabungkan perkara tersebut dijatuhkan dengan putusan sela yang disebut dengan putusan insidentil.
Komulasi gugatan kemungkinan terjadi dalam 3 (tiga) bentuk yakni :
1. Objective comulatie (Penggabungan obyektif).
Pengertian obyective comulatie (penggabungan obyektif) adalah apabila pihak penggugat mengajukan beberapa obyek gugatan dalam satu perkara sekaligus. Meskipun penggabungan obyektif gugatan secara khusus tidak ditemukan dalam Undang-undang, namun penggabungan obyektif seperti ini diperbolehkan dalam praktik acara peradilan Agama selama permasalahannya terkait erat dengan perkara pokoknya, hal ini dimaksudkan untuk memudahkan proses berperkara dan tidak berseberangan dengan prinsip-prinsip keadilan.
Beberapa hal tidak diperbolehkan dalam komulasi obyektif yaitu :
Penggabungan antara gugatan yang diperiksa dengan acara khusus seperti perceraian digabung dengan perkara perdata biasa (misalkan mengenai pelaksanaan perjanjian)
Penggabungan anatara dua atau lebih tuntutan yang salah satu diantaranya pengadilan tidak berwenang secara absolut untuk memeriksanya.
Penggabaungan antara tuntutan mengenai bezit dengan tuntutan mengenai eigendom.260.
Komulasi obyektif dalam praktik di Pengadilan Agama kemungkinan terjadi dalam perkara perceraian yang digabungkan dengan tuntutan nafkah madhiyah, nafkah anak, pemeliharaan anak , dan nafkah iddah, Hal ini dimungkinkan karena masih terkait dengan kewenangan absolut Pengadilan Agama.
2. Subyective Comulatie (penggabungan subyektif).
Bentuk penggabungan subyektif bias terjadi apabila penggugat lebih dari satu orang melawantergugat yang lebih dari satu orang juga, Hal ini diperbolehkan menurut hukumacara perdata, dengan catatan tuntutan penggugat tersebut harus ada hubungan erat satu sama lain.261
3. Concursus (kebersamaan)
Komulasi kebersamaan yang dimaksud adalah apabila seseorang penggugat mempunyai beberapa tuntutan yang meneju pada suatu akibat hukum saja. Dimana apabila satu tuntutan sudah terpenuhi, maka tuntutan yang lain dengan sendirinya terpenuhi juga. Contoh permonan pemohon dalam hal terlaksanya pernikahan yang terhambat karena masalah wali adhal, dispensasi nikah, dan ijin kawin. Ketiga hal tersebut hamper serupa dalam persoalannya dan memiliki tujuan yang sama pula yakni terlaksanya pernikahan, maka ketiga hal tersebitdapat digabung menjadi satu, sehingga apabila ijin kawin dikabulkan maka dengan sendirinya kedua hal yang lain tersebut mengikutinya.
Tuesday, December 23, 2008
PEMBUKTIAN DI MUKA PERSIDANGAN
Perihal Pembuktian.
Yang disebut pembuktian “Membuktikan” adalah meyakinkan najlis hakim tentang dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan atau menurut pengertian yang lain adalah kemampuan penggubat atau tergugat memenfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan (dibantahkan) dalam hubungan hukum yang diperkarakan.262
Dalam hukum acara perdata salah satu tugas hakim adalah menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan telah benar-benar ada atau tidak, adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu perkara,apabila penggugat tidak berhasil untuk membuktikan dalil-dalilnya yang menjadikan dasar gugatannyamaka gugatannya akan dikalahkan dan apabila mampu membuktikan gugatannya maka gugatannya pasti akan dimenangkan,
Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, sebab dalil-dalil yang tidak disangkal apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam hal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Majlis hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa diantarapihak-pihak yang berperkara itu yang akan diwajibkan untuk mengajukan alat bukti.
Pembuktian itu hanya diperlukan apabila timbul suatu sanggahan, jika tidak ada sanggahan maka tidak perlu adanya pembuktian. Jika hak waris anak angkat atas barang peninggalan orang tua angkatnya tidak dibantah oleh para pihak (ahli waris) maka anak angkat tersebut tidak perlu membuktikan hak warisnya tersebut, sebab ank angkat pada dirinya menerima hak waris atas dasar wasiat wajibah dari orang tua angkatnya sebagai warisan tidak lebih dari sepertiga.263
Selain untuk hal-hal yang telah diakui atau stidak-tidaknya tidak disangkal, terdapat satu hal lagi yang tidak harus dibuktikan, ialah berupa hal-hal atau keadaan yang telah diketaui umum dalam hal ini menurut hukum acara perdata disebut “fakta notaries” sebagai contoh harga tanah di kota-kota besar terutama Jakarta lebih mahal daripada harga tanah didesa-desa fakta notaries merupakan keadaan yang langsung diketahui sendiri oleh majlis hakim.
Dalam sengketa yang berlangsung dipersidangan pengadilan masing-masing pihakdibebani dibebani untuk menunjukkan dalil-dalil (“posita”) yang saling berlawanan, majlis hakim harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil manakah yang yang benar dan yang tidak benar berdasar duduk perkaranya yang ditetapkan sebagai yang sebenarnya.
Keyakinan itu dibangun berdasarkan pada sesuatu yang oleh-oleh undang-undang dinamakan alat bukti, dengan alat bukti masing-masing pihak berusaha membuktikan dalilnya atau pendiriannya yang dikemukakan dihadapan majlis hakim dalam persidangan.
Dalam hukum acara perdata, untuk memenangkan antara pihak yang berperkara tidak perlu adanya keyakinan hakim, yang penting adanya alat-alat bukti yang sah dan berdasar alat-alat bukti tersebut majlis hakim akan mengambil keputusan siapa yang menang dan siapa yang kalah, dengan kata lain dalam hukum acara perdata cukup dengan kebenaran formil saja. Merupakan suatu asas bahwa barang siapa yang mendalilkan sesuatu dia harus membuktikannya. sepintas lalu asas tersebut kelihatannya sangat mudah, sesungguhnya dalam praktik merupakan hal yang sangat sukar untuk menentukan secara tepat siapa yang harus dibebani kuwajiban untuk membuktikan sesuatu, sebagai patokan dapat dikemukakan bahwa hendaknya tidak hanya satu pihak saja yang diwajibkan memberikan bukti, akan tetapi harus dilihat secara kasus perkasus (masalah permasalah).
Jenis alat-alat bukti.
Alat bukti yang dapat dipergunakan dalam persidangan Pengadila Agama adalahterdiri ats lima macam, yaitu :
- Alat bukti surat/alat bukti akta.
- Alat bukti saksi.
- Alat bukti persangkaan.
- Alat bukti pengakuan.
- Alat bukti sumpah.
Dalam praktik terdapat satu alat bukti lagi yang sering dipergunakan yaitu “pengetahuan hakim”, yang dimaksud dengan pengetahuan hakim adalah keadaan yang diketahui langsung oleh majlis hakim dalam persidangan, miasalnya majlis hakim melihat sendiri pada waktu melakukan pemeriksaan setempat. bahwa benar ditubuh penggugat memar bekaspukulan tergugat, atau antara pebnggugat dan tergugat tidak menunjukkan adanya sengketa perkawinan dalam persidangan.
Hal-hal atau keadaan yang diketauimajlis hakimatau anggota majlis hakim diluar sidang adalah bukan merupakan pengetahuan hakim, melainkan pengetahuan bapak atau ibu hakim sendiri atau pribadi, yang secar kebetulan mengetahui hal tersebut.
1. Alat Bukti surat (Akta).
Istilah surat dilihat dari segi yuridis disebut juga dengan akta. Adapun pengertian mengenai akta atau surat adalah tanda bacaan yang berupa aksara yang disusun berupa kalimat sebagai ekspresi atau terjemahan pikiran yang ditulis pada bahan kertas, kayu, kain dan lain-lain yang didalamnya tercantum tanda tangan. Sedangkan mengenai photo dan peta adalah tidak termasuk dalam pengertian surat (akta) karena tidak berisi tanda tangan dan juga tanda bacaan , sebab tanpa tanda tangan tidak disebut surat (akta), dalam pengertian yuridis bila tidak dibubuhi tanda tangan, maka tidak dikategorikan sebagi pengertian surat (akta).
Yang dikategorikan sebagai tanda tangan adalah terdiri dari tanda-tanda huruf atau coretan yang ditulis dengan tangan oleh yang bersangkutan, dengan demikian dapat dipastikan siapa orang yang bertanda tangan , disamping itu juga untuk memastikan siapa orang yang memberi keterangan pada surat (akta) tersebut.
Misalnya tanda tangan berupa nama kecil yang penting bias dipastikan orangnya, disamping berupa nama kecil adalah cap jempol dengan syarat harus dilegalisir.
Ada bebrapa fungsi surat (akta) ditinjau dari segi hukum, yaitu :
1. Sebagai syarat menyatakan perbuatan hukum.
Dalam beberapa peristiwaatau pernuatan hukum dimana akta ditetapkan sebagai syarat pokok (formalitas causa), tanpa akta dianggap perbuatan hukum yang dilakukan tidak memenuhi syarat formil. Sebagai contoh, perbuatan hukum memanggil penggugat aiau tergugat untuk menghadiri sidang, maka hal tersebut harus dilakukan dengan akta (eksploisi) sebab jika tidak demikian maka dinyatakan tidak sah. Contoh lain yakni somasi harus dilakukan dengan surat (akta), sebab dengan demikian akan terpenuhi ketentuan “ingebreke steling”, dimana dibetur dalam keadaan wanprestasi.
2. Sebagai alat bukti.
Pada umumnya pembuatan akta tidak lain dimaksudkan sebagai alat bukti sekaligus bias juga melekat sebagai syarat menyatakan perbuatan dan sekaligus dimaksudkan sebagai fungsi alat bukti, dengan demikian suatu akta bias berfungsi ganda.
3. Sebagai alat bukti satu-satunya.
Dalam hal ini surat(akta) berfungsi sebagai “probationis Causa” , sebab tanpa surat (akta), maka tidak dapat dibuktikan dengan alat bukti lain. Untuk lebih jelasnya dapat diambil contoh pembuktian perkawinan, satu-satunya alat bukti mengenai hubungan perkawinan tidak lain hanya dengan “kutipan akta nikah”.
Dilihat dari segi kualitas akta dibedakan menjadi beberapa bentuk yang masing-masing mempunyai daya kekuatan pembuktian yang berbeda, yakni :
Akta otentik
Kekuatan pembuktian yang melekat pada akta otentik terdapat beberapa kekuatan yang melekat padanya, yang masing-masing kekuatan berpadu kekuatan pembuktian yang sempurna, mengikat dan melekat pada akta otentik tersebut. Untuk itu akta otentik akan mempunyai kekuatan apabila telah terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
Pertama, memiliki kekuatan bukti luar, artinya suatu akta otentik yang diperlihatkan dimuka persidangan pengadilan harus diperlakukan sebagai akta otentik, sampai dibuktikan sebaliknya, bahwa memang akta tersebut bukan akta otentik. Oleh karena itu majlis hakim dan pihak yang berperkara wajib menganggap akta yang menyerupai akta otentik adalah sebagai akta otentik, sampai pihak lawan dapat membuktikan ketidak otentikannya, disebabkan adanya cacat hukum atau palsu seperti tanda tangan pejabat atau setempel yang tercantum didalam akta adalah palsu, atau bias terjadi apabila terdapat penambahan atau pengurangan isi atau kalimat dalam akta dari yang ddianggap sebenarnya.
Kedua, memiliki pembuktian formal , segala keteranganyang diberikan oleh penanda tanganan dalam akta otentik dianggap benar sebagai keterangan yang diberikan atas keterangan yang dikehendakinya, begitu juga mengenai keterangan yang dicantumkan oleh pejabat pembuat akta , yang didalamnya mengenai tanggal, demikian itu harus dianggap benarsecara formil, sehingga berdasar kekuatan penbuktian formil tersebut, tanggal pembuatan akta otentik tidak dapat diragukan lagi.
Ketiga, Memiliki pembuktian materiil, mengenai kekuatan pembuktian materiil akte otentik paling tidak menyangkut permasalahan, apakah keterangan yang tercantum didalamnya benar atau tidak, dengan demikian kekuatan pembuktian materiil adalah merupakan pokok persoalan akta otentik. Prinsip daripada kekuatan bukti materiil adalah setiap penandatanganan akta otentik oleh seseorang selamanya harus dianggap untuk keuntungan pihak penandatanganan. Yang perlu diperhatikan adalah keterangan yang dibuat seseorang yang bertujuan merugikan pihak lain tanpa sepengetahuannya adalah tidak dapat mengekat orang lain menurut hukum pembuktian, dan kalau yang seperti ini dibenarkan, maka dapat menimbulkan hancurnya tatanan kehidupan masyarakat.
Berpatokan pada prinsip penandatanganan akta otentik untuk keuntungan pihak lain dihubungkan dengan kekuatan pembuktian materiil, dalam hal ini harus ditegakkan asas “orang hanya dapat membebankan kuwajiban pada diri sendiri”. Dengan asas ini, maka dapat ditegakkan kekuatan materiil pembuktian otentik, karena didalamnya terdapat ha-hal sebagai berikut :
a. Siapa yang menandatangani akta, berarti dengan sukarela ia telah menyetakan maksud dan kehendak.
b. Tujuan dan maksud pernyataan itu untuk menjamin kebenaran keterangan yang diberikan dalam akta.
c. Oleh karena itu dibelakang hari dia tidak boleh mengingkari, bahwa dia tidak menuliskan atau tidak memberi keterangan yang tercantum didalam akta.
d. Namun demikian bukan berarti isi keterangan akta adalah mutlak benar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Akibat hukum materiil akta dikaitkan dengan kekuatan pembuktian materiil adalah aapabila ada dua orang antara yang satu sengan yang lain , keduanya saling memberi keterangan dan keterangan tersebut saling bersesuaian, maka akibat hukum dari keterengan mereka itu melahirkan persetujuan, dengan demikian akta tersebut menjadi bukti adanya persetujuan sebagaimana yang diterangkan dalam akta.
Dasar hukum kebenaran bentuk akta otentik adalah diatur dalam pasal 165 HIR atau 285 RBG, yang intinya adlah mengatur kebenaran akta, untuk mengatur kebenaran akta tersebut paling tidak harus diperhatikan hal-hal berikut ini :
- Dibuat menurut bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
Akta otentik harus dibuat oleh pejabat umum yang berwenang untuk itu, dalam arti yang lebih luas adalah meliputi akta otentik dibidang hukum perdata, pada umumnya akta otentik ini dibuat dihadapan pejabat yang berwenang. Dan mengenai akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang erwenang sangat banyak ragamnya, mulai dari berita acara, SIM, KTP, akte nikah, dan lain-lain.
Pejabat yang berwenang membuat akta.
a). Dibidang hukum public.
Pada Umumnya akta otentik dibidang hukum public adalah dibuat oleh pejabat tata usaha Negara (TUN), akan tetapi bias jadi dibuat oleh pejabat yudikatif seperti berita acara (BA), surat panggilan, akta banding dan sebagainya.
b). Dibidang hukum perdata.
Pada umumnya akta otentik dibidang hukum perdfata adalah dibuat oleh notaries sesuai dengan jabatannya, namun demikian tidak menutup kemungkinan bisa juga dibuat oleh pejabat lain dengan syarat undang-undang yang bersangkutan secara tegas menyebut bahwa akta otentik tersebut dibuat oleh pejabat tertentu sepertia akta nikah yang diatur dalam pasal 2 (1) PP, nomor 9 tahun 1975.
c. Akata otentik dibuat diluar negeri
Akat otentik yang dibuat diluar negeri terdapat kesepakatan bahwa pengertian pejabat notaries adalah didalamnya termasuk notaries yang diluar negeri, dengan demikian akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang diluar negeri adalah dianggap sah sebagai akta didalam negeri. Dinegeri Belanda misalnya, akta otentik yang dibuat pejabat berwenang diluar negeri oleh yurisprodensi Belanda adalah diakui sebagai akta otentik yang sah oleh negeri Belanda tersebut.269.
d. Dibuat dihadapan pejabat.
Apabila dibuat oleh pejabat, dalam hal ini inisiatif tidak dating dari seoang kepada siapa diberikan akta,tanpa mengurangi kemungkinan adanya pemahaman dari orang yang bersangkutan, tapi ada kalanya notaries bias juga membuat akta otentik yang dibuat olehnya, dimana notaries hanya berfungsi sebagai pembuat laporan, sebagai contoh adalah BP.RPS (Berita acara rapat pemegang saham), dalam hal ini notaries berfungsi membuat laporan tentang apa yang terjadi dalam RPS dan mengkonstantir segala tingkah laku para peserta RPS yang hadir.
Pada umumnya akta otantik yang dibuat dihadapan pejabat notaries adalah bersifat partai, yang disebut juga dengan akte para pihak atau akta persetujuan para pihak yang inisiatifnya dating dari para pihak, dengan keterangan sendiri baik dengan cara lisan dan bias juga dengan keterangan tertulis.
Prinsip keberadaan notaries adalah bersifat pasif, walau demikian tidak mengurangi kewenangannya untuk mengkonstantir segala sesuatu yang terjadi dihadapannya, terlebih khusus hak mengkonstantir fakta, hal ini dimaksudkan untuk meluruskan isi akta yang lebih layak, oleh karena itu sifat pasif bagi notaries adalah tidak mutlak dalam arti notaries tidak berwenang menyelidiki keberadaan keterangan yang dikemukakan para pihak, akan tetapi dalam hal keterangan yang disampaikan oleh para pihak (pemohon akta) bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan, maka notaries harus menolak untuk membuat akta.
Syarat formal dan material akta otentik yang bersifat partai adalah :
1. Syarat formal
Dibuat dihadapan pejabat yang berwenang, pada umumnya pejabat yang berwenang adalah notaries, namun tidak menutup kemungkinan adalah dibuat oleh pejabat lain dalam hal ini adalah PPAT ( Pejabat pembuat akte tanah) untuk pertanahan dan pejabat pencatat nikah untuk perkawinan.
Dihadiri para pihak, oleh karena akta ontentik yang bersifat partai adalah memuat keterangan yang harus bersesuaian antara kedua belah pihak dengan tujuan untuk melahirkan persetujuan, apabila tidak dihadiri oleh kedua belah pihak , maka tidak terpenuhi syarat formil.
Kedua belah pihak dikenal atau dikenalkan kepada pejabat, Dalam hal ini biasanya kedua belah pihak dikenalkan oleh saksi.
Dihadiri oleh dua orang saksi, saksi harus dikenal oleh pejabat notaries saksi tersebut biasanya diambil dari pegawai notaries.
Isi akta dibacakan notaries dihadapan kedua belah pihak dan saksi.
Akta otentik memuat tanggal, bulan, tahun, bilamana lupa memuat tanggal maka akan hilang kekuatan otentik dan jatuh menjadi akta bawah tangan.
Ditanda tangani oleh kedua belah pihak, para saksi dan notaries, tentang penandatanganan para pihak harus ada penegasan dari notaries dalam akta.
Adapun tujuan mengenai penegasan ini tidak lain untuk mengotentikkan tanda tangan para pihak.
2. Syarat materiil
Berisi keterangan kesepakatan para pihak, yang harus persis sama sesuai dengan yang diterangkan para pihak tanpa mengurangi hak konstantering notaries, jadi prinsipnya tidak mengurangi atau melebihi dari apa yang diterangkan oleh para pihak.
Berisi keterangan mengenai perbuatan hukum dan hubungan hukum antara para pihak.
Pembuatan akta sengaja dimaksudkan sebagai bukti tentang persetujuan perbuatan hukum dan hubungan hukum yang diterangkan dalam akta.
Sanggahan terhadap keaslian akte otentik dapat dilakukan melalui :
- Dugaan tentang keaslian akta otentik
Dengan adanya keterangan notaries yang menegaskan bahwa orang yang menghadap terlebih dahulu harus dikenal atau dikenalkan mengenai keterangan penandatangan yang dilakukan oleh kedua belah pihak itu merupakan jaminan atas kebenaran identitas dan tanda tangan para pihak yang menghadappada notaries, dengan demikian keaslian identitas dan tanda tangan telah terjamin kebenarannya. Bagi hakim dan para pihak atau siapapun harus menghargai keasliannya dalam bentuk keaslian akte otentik.
Oleh karena itu siapa yang meragukan keaslian atau menyatakan akta otentik itu palsu harus membuktikan kepalsuan tersebut. - Bukti lawan akte otentik.
Terhadap kekuatan pembuktian materiil akte otentik dapat dipergunakan dengan segala jenis alat bukti. - Tuduhan atas kepalsuan akta otentik berupa kepalsuan intelektual, dalam hal ini dapat terjadi atas alasan bahwa isi keterangan yang tercantum berlawanan dengan yang sebenarnya, jadi kepalsuan intelektual pada prinsipnya adalah mempersoalkan kebenaran isi.
- Tuduhan atas kepalsuan materiil dalam hal ini focus pemalsuannya adalah mengenai kebenaran tanda tangan.
- Tuduhan atas kepalsuan dalam bentuk penghapusan, penukaran dan penambahan.
- Tuduhan kepalsuan dalam bentuk “abuse deblang seigen” yaitu menyalahgunakan tanda tangan dibawah suerat blanko.Nilai kekuatan pembuktian akta otentik.
- Nilai kekuatan pembuktian dari pada akta otentik adalah :
1. Apabila terpenuhi syarat formil dan materiil maka :
a. Langsung mencapai batas minimal pembuktian.
b. Langsung sah sebagai alat bukti.
c. Langsung melekat kekuatan pembuktian yang sempurna (volleding) dan mengikat (binden). Dengan demikian hakim wajib menganggapnya benar secara sempurna, harus dianggap telah cukup terbukti apa yang didalilkan, serta hakim terikat atas keterbuktian kwbwnaran untuk mengambil keputusan
2. Kualitaskekuatan pembuktian akta otentik tidak bersifat memaksa (dwigen) atau menentukan (beslissen) artinya dapat ditentang dengan bukti lawan. Hal tersebut penting untuyk dijadikan catatan, mengingat kualitas kekuatan pembuktian hanya sampai pada derajad sempurna dan mengikat tidak sampai pada derajad sempurna dan mengikat tidak sampai pada derajad menentukan, dalam derajad dan kualitas seperti itu maka tidak tertutup kemungkinan untuk dilumpuhkan dengan bukti lawan (tegen bewijs)dengan demikian derajadnya akan merosot menjadi akta bawah tangfan (ABT), bahkan lebih dari itu akan merosot menjadi alat bukti permulaan, sehingga keberadaannya tidak bias berdiri sendiri dan harus ditambah dengan salah satu bukti lain.
3. Tidak memuat tanggal, maka jatuh menjadi akta bawah tangan (ABT). Apabila terjadi kelalaian (Omission) mencantumkan tanggal, maka akan hilang daya otentik dan merosot menjadi akta bawah tangan (ABT), kekuatan pembuktiannya dalam hal ini tergantung pada pengakuan isi ditambah dengan tanda tangan.
Apabila isi dan tanda tangan diakui, maka nilai kekuatan pembuktiannya pulih menjadi akta otentik (sempurna dan mengikat) apabila tidak diakui isi dan tanda tangan, maka nilai kekuatan pembuktiannya menjadi alat bukti permulaan tidak bias berdiri sendiri dan harus ditambah dengan alat bukti yang lain.
8. Daya kekuatan mengikat akte otentik terhadap ahli waris.
Daya kekuatanakte otentik tidak hanya mengikat para pihak, akan tetapi menjangkau kepada :
1. Para ahli waris para pihak. Daya kekuatan akta otentik terhadap ahli waris adalah didasarkan pada peralihan hak dan kuwajiban beralih memjadi tanggung jawab ahli waris, sehingga dengan sendirinya menurut hukum, akta otentik yang dibuat pewaris akan mengikat sepenuhnya kepada ahli waris, oleh karena itu tuntutan maupun hak dan hubungan hukum yang disepakati pewaris dalam akta otentik berkekuatan mengikat kepada seluruh ahli waris dan berlaku sebagai undang-undang.
2. Orrang yang mendapatkan limpahan hak dan kuwajiban serta predikat khusus. Cara pelimpahan pelimpahan berdasar predikat khusus bisa terjadi dalam berbagai bentuk, bias melalui hibah, transaksi jual beli, hubungan sewa dan, lain-lain.
Dalam hal seperti ini , orang yang mendapat hak tadi berwenang penuh untuk menuntut semua pemenuhan kuwajiban dari pigak lain. Tuntutan pemenuhan itu untuk dan atas nama dirinya, bukan sebagai kuasa atau wakil.
2). Akte Bawah tangan (ABT).
Yang dimaksud akta bawah tangan adalagh surat urusan rumah tangga dan surat lain yang ditanda tangani namun tidak dibuat dihadapan pejabat umum atau tidak memakai bantuan pejabat umum, yang menjadi focus pembicaraan adalah akta bawah tangan yang bersifat partai.
Pada akta bawah tangan daya kekuatan pembuktiannya tidak memiliki daya eksternal kepada pihak lain, namun hanya terbatas pada daya formil dan materiil:
1. Daya pembuktian formil akta bawah tangan memiliki daya pembuktian bahwa orang yang bertanda tangan dalam akta bawah tangan adalah benar menerangkan sebagaimana yang tercantum dalam akta yang ditanda tanganinya.
Berdasarkan kekuatan formil yang demikian, harus dianggap terbukti ada pernyataan penandatanganan dengan kalimat surat “saya bertanada tangan ini berisi keterangan saya” jadi harus menyangkut kebenaran identitas penandatanganan serta kebenaran identitas orang yang memberi keterangan . Apabila daya formalnya tidak dibuat dihadapan penjabat, maka keterangan yang tercantum didalamnya tidak mutlak menjadi keuntungan pihak lain,akan tetapi bias untuk keuntungan dan kerugian para pihak dengan alasan karena isi keterangan yang tercantum dalam akta bawah tangan belum pasti merupakan persesuaian keterangan dari kedua belah pihak, sebab tanpa melalui tuduhan kepalsuan atas akta bawah tangan para pihak dibenarkan oleh hukum untuk mengingkari kebenaran isi dan tanda tangan.270. Maka dari itu disebut dengan akta bawah tangan (ABT) pada dasarnya sering mengandung kerawanan dan tidak kepastian.
2. Daya pembuktian materiil akta bawah tangan (ABT) didalamnya menyangkut masalah apakah isi keterangan yang tercantum di dalam akta bawah tangan benar atau tidak dan sejauh mana kebenaran isi leterangan itu. Pada prinsipnya secara materiil isi keterangan yang tercantum dalam akta bawah tangan harus dianggap benar, sehingga bias mengikat kkepada dirinya serta mengikat kepada ahli waris,pihak lain dan orang yang mendapat hak dari padanya.
Kebenaran isi ketyerangan yang tercantum dalam ABT (akta bawah tangan) adalah persoalan yang harus diselesaikan oleh kedua belah pihak namun dalam hal ini tidak mengurangi daya pembuktian materiil tentang kebenaran bahwa penandatanganan memberi keterangan yang tercantum dalam akta.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam akta bawah tangan :
a. Syarat formil dan materiil akata bawah tangan.
1. Syarat formil.
- Bentuk tertulis.
- Dibuat secara partai.
- Ditanda tangani kedua belah pihak.
Persoalan tanggal dalam akta bawah tangan menurut M. Yahta Harahap, sudah lama menjadi pembicaraan, paling tidak teerdapat du pendapat, yaitu : Pertama, Akta bawah tangan (ABT) adalah bukti bebas terhadap pihak ketiga, oleh karena itu tanggal bukan merupakan syarat formil. Kedua, akta bawah tangan (ABT) yang tidak ada tanggal tidak ada tanggal tidak memberi kepastian. Baik mengenai terjadinya hubungan hukum yang diterangkan akta, juga tidak memberi kepastian tentang terjadinya peralihan kepada orang yang mendapat hak.
2. Syarat materiil.
Keterangan yang tercantum dalam akta bawah tangan (ABT) merupakan persetujuan tentang perbuatan hukum dan hubungan hukum antara para pihak penandatanganan, sengaja mereka buat sebagai alat bukti tidak lain adalah untuk membuktikan kebenaran perbuatan hukum atau hubungan hukum yang diterangkan dalam akta.
b. Penyangkalan isi dan tanda tangan.
Penyangkalan isi dan tanda tangan oleh para pihak untuk mengakui dengan sungguh-sungguh atau menyangkal dengan sungguh-sungguh adalah diatur dalam pasal 289 RBG, namun dalam pasal ini hanya menyebutkan mengakui dengan sungguh-sungguh atau menyangkal tulisannya. Dengan demikian ada yang berpendapat bahwa yang dapat diakui atau diasangkal hanyalah tanda tangannya. Secara logis sepintas ada benarnya, sebab dengan disangkal tanda tangannya dengan sendirinya secara inklusif meliputi isi keterangan yang adapada akta, namun demikian bisa terjadi bisa terjadi sebaliknya, yaitu tanda tangan diakui namun bisa jadi disangkal, apabila demikian akan lebih tepat pengakuan dan penyangkalan meliputi isi dan tanda tangan.
Hidup matinya akta bawah tangan tergantung pada tanda tangan, apabila tanda tangan disangkalatau diingkari, maka kekuatan daya formil dan materiilnya bisa jadi lenyap., namun demikian tujuan pengingkaran tanda tangan mempunyai makna yang sangat positif, yaitu untuk menghindari terjadinya pemaksaan tanda tangan sewenang-wenang.
Apabila Undang-undang tidak memberi hak kepada seorang untuk menyangkal tanda tangan yang terdapat pada akta bawah tangan , dengan mudah akan banyak terjadi pemalsuan tanda tangan oleh pihak yang beretikat buruk, maka untuk menghindarinya undang-undang memberi hak mengingkari tanda tangan dan menyuruh pembuktian kepada pihak lain, bahwa tanda tangan tersebut benar tanda tangan yang mengingkari.
Adapun tata cara pengingkaran terhadap tenda tangan :
a. Bagi pihak partai, pengingkaran tidak boleh diam-diam, tidak boleh bersyarat dan juga penyangkalan harus tegas, bahwa tanda tangan itu adalah tanda tangannya.
b. Bagi para ahli waris, apabila pihak partai telah meninggal, para ahli waris berhak untuk tidak mengakui tanda tangan pewaris dalam akta bawah tangan. Dalam hal ini hak ahli waris bukan menyangkal atau mengingkari akan tetapi tidak mengakui , yang demikian ini adalah logis karena yang dapat menyangkal sesuatu hanya orang yang dianggap terlibat langsung dalam suatu peristiwa hukum.
Penyangkalan mewajibkan beban bukti kepada pihak lawan dengan berpegang pada hal-hal sebagai berikut :
a. Beban bukti kepada pihak lawan, yakni dengan sendirinya meletakkan wajib bukti bagi pihak lawan untuk membuktikan keaslian (orisinalitas) tanda tangan tersebut. Jadi beban bukti bukan dipikulkan kepada penyangkal dengan alasan penyangkalan dianggap bersifat negatif. Sehingga berdasarkan teori kepatutan pembebanan wajib bukti dianggap tidak layak dibebankan kepada pihak yang mengingkari.
b. Alat bukti yang dapat dipergunakan untok membuktikan orisinslitas tanda tangan yang diingkari hanyalah terbatas pada alat bukti tertentu , yaitu surat-surat, saksi-saksi dan ahi-ahli. Jadi untuk membuktikan palsu dan tidaknya tanda tangan tidak boleh dipergunakan alat bukti sumpahsebab jika jika demikian adalah sangat membahayakan dalam kehidupan bermasyarakat, sebab bagi seorangf pemalsu tanda tangan akan gampang membuktikan orisinilitasnya.
3). Akta Pengakuan Secara Sepihak
Akta pengakuan seacara seoihak disebut juga dengan “pengakuan hutang di bawah tangan” yang berbentuk sepihak dari si penandatangan yang berisikan tentang pengakuan hutang dari penandatangan, hal ini diatur dalam pasal 291 R.Bg. Adapun obyek dari pengakuan hutang sepihak itu bias berupa sejumlah uang atau barang yang dapat ditentukan harganya.
4). Salinan Kutipan dan Photo Copy
Adalah diatur dalam pasal 302 R.Bg. Salinan (grose) pemberian tertulis dari aslinya adalah sama dan serupa kata demi kata termasuk tanda tangan yang ada pada aslinya. Pengeluaran grose seperti itu dimaksudkan untuk memenuhi eksekusi akta pengakuan hutang atau hipotik.