Friday, January 2, 2009

PERADILAN AGAMA VERSI FIQIH SUNNAH



(Lanjutan : HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA)

B. 1. Obyek Peradilan

Sesungguhnya keadilan itu merupakan salah satu dari nilai-nilai Islam yang tinggi. Hal itu disebabkan menegakkan keadilan dan kebenaran menebarkan ketentraman, meratakan keamanan, memperkuat hubungan antara individu dengan individu lain dan penguasa ataupun rakyat dapat menjalankan tujuannya di dalam bekerja, berproduksi dan berkhidmad kepada Negara, tanpa menghadapi rintangan yang dapat menghentikan kegiatannya atau menghalanginya untuk bangkit.
Sesungguhnya keadilan itu dapat diwujudkan dengan menyampaikan setiap hak kepada yang berhak dengan melaksanakan hukum-hukum yang telah disyari’atkan Allah serta dengan menjauhkan hawa nafsu melalui pembagian yang adil di antara sesame manusia.
Adapun tugas dari para Rasul Allah tidak lain adalah untuk menjalankan dan melaksanakan urusan ini. Dan tugas dari para pengikut-pengikut para Rasulpun tidak lain hanyalah mengikuti jalan ini, agar kenabian tetap membentangkan naungannya yang rindang bagi manusia.



025. Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.

Diantara sarana-sarana yang terpenting untuk mewujudkan keadilan, menjaga hak-hak dan memelihara darah, kehormatan dan harta benda ialah menegakkan system peradilan yang diwajibkan oleh Islam dan dijadikannya sebagai bagian dari ajaran-ajarannya dan sebagai lembaga dari lembaga-lembaganya yang tidak boleh tidak harus ada.
Orang yang pertama kali memegang jabatan ini didalam islam adalah .Rasulullah saw. Allah ‘Azza wa Jalla telah memerintahkan kepada RasulNya agar dia menghukumi dengan apa yang telah diturunkan Allah, seperti dalam firman :


105. Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat,
106. dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Di masa Rasulullah saw, yang memegang peradilan di Makkah adalah ‘Attab bin Usayyid, sedang Ali bin Abu Thalib memegang peradilan di yaman. Para pemilik sunan dan lain-lainnya meriwayatkan, bahwa ketika Rasullullah saw mengutus Ali untuk menjadi hakim di Yaman, Ali berkata: “Wahai Rasulullah, engkau mengutusku diantara mereka, sedangkan aku seorang pemuda yang tidak mengerti mengenai peradilan.” Dia berkata: “Rasulullah menepuk dadaku dan berkata: “Ya Allah, tunjukilah dia, dan tetapkan lisannya.” Ali berkata: “Demi Allah yang menumbuhkan biji-bijian, aku tidaklah ragu-ragu dalam mengadili antara dua orang.”
Peradilan itu menyangkut semua hak, baik itu hak Allah ataupun hak anak Adam. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun menyimpulkan :
“Sesungguhnya kedudukan peradilan itu pada prinsipnya adalah perpaduan diantara memberikan keputusan di kalangan orang-orang yang bersengketa dan menyampaikan sebagian hak-hak umum bagi kaum muslimin dengan memperhatikan hal ikhwal orang-orang yang terhalang dari haknya seperti orang gila, anak yatim, orang yang jatuh pailit (bangkrut usahanya), dan orang yang safih. Dan juga dalam wasiat-wasiat kaum muslimin dan wakaf-wakaf mereka, serta mengawinkan orang-orang yang sendirian bagi yang berpendapat demikian. Juga memperhatikan kepentingan jalan dan bangunan, memeriksa saksi-saksi, orang-orang yang dipercaya dan wakil-wakil serta mencukupkan pengetahuan dan pengalaman tentang mereka itu dengan adil dan teliti, sehingga hakim mempercayai mereka. Ini semua termasuk hal-hal yang berhubungan dengan tugasnya dan wilayah pekerjaannya”.

B. 2. Kedudukan Peradilan

Peradilan adalah fardhu kifayah untuk menghindarkan kezaliman dan memutuskan persengketaan. Penguasa wajib mengangkat hakim untuk menegakkan hukum dikalangan masyarakat dan barang siapa menolak, maka dipaksakan kepadanya jabatan itu.
Apabila ada seorang manusia yang peradilan itu tidak pantas kecuali diberikan kepadanya, maka dia ditunjuk dan wajib baginya menerima jabatan itu. Islam telah menganjurkan agar hukum ditegakkan di antara manusia dengan cara yang benar, dan menyatakan bahwa perbuatan yang demikian itu adalah perbuatan yang disukai.

B. 3. Sistem Peradilan
Rasulullah saw telah menjelaskan kepada kita system peradilan yang seharusnya ditempuh oleh seorang hakim di dalam peradilannya, ketika beliau mengutus Mu’adz untuk menjadi gubernur di Yaman, Beliau berkata pada Mu’adz:
“Dengan apa engkau akan memutuskan? Mu’adz menjawab: Dengan kitab Allah. Kata beliau: Bila engkau tidak mendapatkannya di dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab: Dengan sunnah Rasulnya. Kata beliau: Bila engkau tidak mendapatkannya di dalam sunnah Rasulnya? Mu’adz menjawab: Dengan ra’yu (pendapatku).”
Hakim wajib untuk selalu mencari kebenarannya, sehingga dia harus menjauhkan segala sesuatu yang dapat mengganggu pikirannya. Dia tidak boleh memutusi dikala amat marah atau lapar, sedih mencemaskan, amat takut, mengantuk, panas, dingin atau sibuk hatinya sehingga hal itu akan memalingkannya dari pengetahuan yang benar dan pemahaman yang cermat. Sebagaimana Rasulullah bersabda:
“Jangan sekali-kali seorang hakim mengadili urusan antara dua orang, sedang dia dalam keadaan marah.”
Apabila di dalam salah satu keadaan yang disebutkan di atas seorang hakim tetap menghukumi, maka hukumnya tetap sah bila sesuai dengan kebenaran. Demikian pendapat jumhur fuqaha.
Selagi hakim berijtihad di dalam mengetahui yang hak dan menetapkan yang benar, maka ia mendapatkan pahala sekalipun ia tidak mendapatkan kebenaran itu.
Dari ‘Amr ibnul ‘Ash, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Apabila seorang hakim berijtihad lalu dia benar dalam ijtihadnya, maka dia mendapatkan dua pahala. Dan apabila dia berijtihad akan tetapi salah dalam ijtihadnya, maka dia mendapatkan satu pahala.”
Apabila seorang hakim menghukumi suatu perkara berdasarkan ijtihadnya, kemudian muncul hukum baru darinya yang bertentangan dengan hukum yang pertama, maka hukum yang baru itu tidak merusak hukum yang pertama. Demikian pula bila diajukan kepadanya keputusan dari hakim lain, sedang dia tidak berpendapat yang demikian, maka keputusan hukum lain itu tidaklah merusak keputusan yang telah ditetapkannya. Yang menjadi dasar dari hal itu ialah apa yang diriwayatkan oleh ‘Abdurrazaq tentang putusan ‘Umar ibnul Khattab r.a. mengenai seorang perempuan yang mati dan meninggalkan suaminya, ibunya, kedua orang saudara lelaki yang sebapak dan seibu dengannya, dan kedua orang saudara lelaki yang seibu saja dengannya. Maka Umar memperserikatkan antara saudara-saudara lelaki seibu sebapak dengan saudara-saudara laki-laki seibu saja dalam sepertiga harta warisan. Maka berkatalah seorang lelaki kepadanya: “Sesungguhnya engkau tidak memperserikatkan mereka pada tahun ini dan ini.” Umar menjawab: “Itu adalah menurut apa yang kami putuskan pada saat itu, sedang ini adalah menurut apa yang kami putuskan hari ini.”
Seorang hakim boleh menempuh cara yang baik. Misalnya, dia meminta kepada orang-orang yang bersengketa agar bardamai atau meminta agar salah seorang dari mereka mundur dalam menuntut sebagian dari haknya.

No comments:

Post a Comment