Friday, January 2, 2009

Peradilan Agama dari Masa ke Masa

(Lanjutan : Peradilan Agama Versi Fiqih Sunnah)

C. 1. Awal Berdirinya Peradilan Agama
Pada masa VOC berdomisili di bumi nusantara hukum Islam tetap berlaku, dimana masyarakat bangsa Indonesia masih diberikan suatu kebebasan dalam melaksanakan hukum Islam dengan seluas-luasnya selama tidak dianggap mengganggu kepentingan-kepentingan VOC di Indonesia. Bangsa penjajah VOC pernah akan memberlakukan hukum Belanda di Indonesia guna memperlancar hubungan mereka dalam perniagaan dengan Negara-negara lain, kemudian gagal total karena mendapat reaksi sangat keras dari kelompok masyarakat umat Islam, kejadian tersebut menjadikan rasa enggan mereka untuk ikut campur terhadap hukum Islam, bahkan VOC kemudian menjadi alternative lain, yaitu dengan membentuk peradilan untuk banga pribumi dengan cara memberlakukan hukum Islam di setiap peradilan orang-orang pribumi dan mengumpulkan materi-materi sebagai hukum Islam. Hal tersebut kemudian tertuang dalam sebuah resolusi (der indische regering)
(Topik Utama Unisia, 1992: 7).

Peraturan resmi yang mengatur eksistensi Peradilan Agama di Bumi Nusantara ini adalah Keputusan Raja Belanda No. 24 tertanggal 19 Januari 1882, dimuat dalam Stb. 1882 No. 152 tentang Pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura (Berpaling betrefende de priesterranden op java en Madoera). Para pakar hukum sependapat, bahwa lahirnya keputusan Raja tersebut adalah merupakan hasil dari teori “Receptio in Complexu” oleh Van Den Berg.
Kemudian teori itu digugat oleh Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje, dan menggantikannya dengan teori “Receptie”, menurut keduanya teori Receptio in Complexu adalah merupakan suatu kesalahan besar pemerintah Hindia Belanda. Pengadilan Agama diberi keluasaan memberlakukan hokum Islam secara keseluruhannya adalah keliru. Yang benar adalah Hukum Islam baru dapat diterima apabila telah diakui oleh Hukum Adat mereka.
Penyebaran agama Islam dengan perantara para Da’I (Ulama), kemudian mendapat sambutan dengan baik dan senang hati di kalangan masyarakat yang memungkinkan berkembangnya Agama Islam dengan pesat sekali sampai ke pelosok bumi nusantara dan kemudian memperoleh bentuk-bentuk yang sangat positif di tengeh-tengah masyarakat Islam tersebut. Sebuah peradilan yang merupakan alat kelengkapan bagi umat Islam dalam melaksanakan Hukum Islam, Peradilan Agama Islam dikhususkan bagi masyarakat yang beragama Islam di Indonesia, sebagai alat kelengkapan pelaksanaan Hukum Islam itu sendiri.
Maka Peradilan Agama ini tumbuh dan berkembang di bumi nusantara yang kemudian disambut dengan senang dan baik oleh masyarakat penduduk Indonesia. Walaupun disadari sepenuhnya bahwa Peradilan Agama khususnya dan Ilmu Pengetahuan Hukum Islam pada umumnya belum pernah berkembang secara menyolok di Indonesia apabila dibandingkan dengan Negara-negara yang lainnya terutama sekali yang mayoritas penduduknya beragama Islam, namun demikian konsepsi-konsepsi Hukum Islam telah menyumbangkan suatu potensi pemikiran yang sangat baik bagi perkembangan dan pembinaan Hukum Islam.

Seorang orientalis berkebangsaan Belanda yamg bernama Snouck Hurgronje, kemudian mengkritik dengan menyatakan bahwa sebenarnya para pejabat colonial Belanda masih sangat kurang sekali akan pengertiannya tentang Agama Islam di Indonesia dan keberadaannya. Dengan kedatangan Snouck Hurgronje tersebut membawa akibat yang tidak diinginkan oleh masyarakat yang beragama Islam khususnya, dampak yang terlihat antara lain adalah kehidupan beragama yang di dalamnya termasuk lembaga-lembaga pendidikan, lembaga peradilan, dan lain-lain.

Lembaga-lembaga keagamaan (peradilan) tidak dapat bergerak secara leluasa disebabkan di dalamnya telah dicampuri oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1882 Lembaga Peradilan Agama oleh pemerintah Hindia Belanda diresmikan (Bahder Johan Nasution, 1992: 2-3).
Maka proses pembentukan suatu Lembaga Peradilan sendiri menurut hukum ditentukan yang pada dasarnya dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu:
a. Tahap tauliyah dari Imam, yaitu pada dasarnya peradilan atas perlimpahan dari wewenang kepala Negara atau orang-orang yang ditugaskan olehnya, dengan catatan orang tersebut harus memenuhi persyaratan tertentu.
b. Tahap kedua adalah tauliyah oleh Ahlul Hilmi Wal ‘Aqdi apabila tidak ada seorang Imam, maka penyerahan suatu wewenang untuk pelaksanaan peradilan dapat dilakukan oleh Ahlul Hilmi Wal ‘Aqdi, adalah [para sesepuh dan ninik mamak dengan adanya suatu kesepakatan bersama.
c. Tahap Tahkim, dalam keadaan tertentu terutama sekali apabila tidak ada Hakim di suatu wilayah tertentu pula, maka apabila dua orang yang bersengketa dapat bertahkim kepada seseorang yang dianggap telah memenuhi suatu persyaratan. Tahkim dapat berlaku apabila kedua pihak terlebih dahulu sepakat untuk menerima dan menyepakati (mentaati) keputusannya nanti dan juga tidak boleh menyangkut pelaksanaan pidana, seperti had dan ta’zir (Ditbinbapera Depag, 1985: 7-8).

Bahwa terjadinya qodlo Asy-Syar’I di Indonesia sudah terjadi pada masa-masa periode Tahkim yaitu pada awal masuknya Islam ke bumi nusantara ini dimana kondisi masyarakat belum mengetahui banyak masalah-masalah hokum Islam, sedangkan Lembag Peradilan Agama terbentuk dalam periode Tauliyah Ahlul Halli Wal’Aqdi. Keadaan yang demikian ini nampak pada masa kerajaan Islam di nuantara dengan bentuk-bentuk lembaga peradilan yang memberlakukan Hukum Islam yang pelaksanaannya di serambi-serambi masjid oleh hakim-hakim yang menjalankan Hukum Islam terhadap perkara-perkara perdata, perkawinan, dan kekeluargaan. Sehingga pada saat itu penampungan perkara perdata sudah ada tempatnya yang menentu dan pasti (Ditbinbapera Depag, 1985: 8).

Peradilan dan lembaga peradilan pada masa itu masih sangat sederhana, demikian juga para pegawainya biasanya diangkat oleh para pejabat setempat. Pengadilan Agama yang diselenggarakan oleh para pejabat (penghulu) yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat dan begitu pula dengan siding-sidang yang berlangsung di serambi masjid (Daniel S. Lev, 1980: 23-32).

Sejak pada pengadilan serambi masjid tersebut belum ada, muncul pengadilan yang secara resmi menangani urusan perdata, pengadilan lain belum ada yang muncul yang menangani dan melayani rakyat di Jawa. Baru kemudian Pengadilan Agama berada dan muncul di bawah pengadilan colonial yaitu “landraad”. Hanya landraat inilah yang berwenanguntuk memerintahkan suatu pelaksanaanbagi keputusan Pengadilan Agama dalam bentuk “Executoir Verklaring”.

Di sini Pengadilan Agama, sangat terbatas kewenangannya terutama hak menyita barang milik yang berperkara tersebut tidak ada (hak menyita barang atau lainnya di sini hilang). Padahal Pengadilan Agama merupakan salah satu pengadilan bagi golongan orang Jawa di dalam salah satu bidang hokum perorangan (Ahmad Azhar Basyir, 1992: 9-11).
Fakta dari suatu badan lembaga-lembaga hokum tersebut sudah ada dalam pelbagai bentuk dan kualitasnya, yang berada di bawah tekanan-tekanan suatu proses adaptasi. Kemudian ternyata banyak orang yang ingin menghindarkan diri dari landraad dan tetap menginginkan dan menggunakan lembaga Peradilan Agama, yang mana rakyat sudah menganggap sebagai lembaga yang sah dan dapat diterima (Ahamad Azhar Basyir, 1992: 11).

Setelah masa proklamasi kemerdekaan Indonesia dan berdasarkan pada pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945, maka ketentuan-ketentuan yang mengatur keberadaan (eksistensi) Peradilan Agama tersebut tetap berlaku. Kemudian langkah yang diambil oleh Pemerintah Republik Indonesia sepanjang yang menyangkut tentang keagamaan, dibentuklah Departemen Agama pada tanggal 3 Januari 1946. Dan setelah terbentuknya Departemen Agama, maka segala perkara yang berkaitan dengan urusan keagamaan diserahkan dari Departemen Kehakiman ke Departemen Agama, karena hal itu memang menjadi hak dan wewenang departemen ini.

Perkembangan selanjutnya Menteri Agama yang menetapkan tentang formasi pegawai pada Pengadilan Agama terpisah dari Kantor Urusan Agama (KUA) tingkat kabupaten, yang kemudian pada akhirnya muncul dengan istilah Pengadilan Agama (Bahder Johan Nasution, 1992: 4-6).

Kemudian secara perlahan bangsa Indonesia sadar untuk menghilangkan dan membuang jauh politik colonial Belanda, hal tersebut diperlihatkan oleh suatu tonggak sejarah, yaitu:
a. Pada tahun 1951, dengan Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951, LN 1951-9, yang kemudian dikuatkan menjadi Undang-undang N0.1 Tahun 1961, LN 1961-3, Peradilan Agama diakui eksistensi dan peranannya.
b. Pada tahun 1957, dengan PP No.45 tahun 1957, LN 1957-99, yang merupakan pelaksanaan dari undang-undang No.1 Tahun 1951, didirikan atau dibentuk Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura.
c. Pada tahun 1964, dengan Undang-undang No. 19 Tahun 1964, LN 1964-107, yang kemudian digantikan dengan Undang-undang No.14 Tahun 1970-74, Peradilan Agama diakui sebagai salah satu dari empat lingkungan Peradilan Negara yang sah.
d. Pada tahun 1974 terbit Undang-undang No.1 Tahun 1974, LN 1975-12, dimana segala jenis pwerkara dibidang perkawinan bagi mereka yang beragama Islam dipercayakan kepada Peradilan Agama untuk menyelesaikannya.
e. Pada tahun 1977 terbit PP No. 28 Tahun 1977, LN 1977-38 yang memberikan kekuasaan kepada Peradilan Agama untuk menyelesaikan perkara, bidang perwakafan Tanah Milik (Roihan A Rasyid, 1991: 1-3).

Para pakar hukum dan sejarah telah sepakat bahwa Peradilan Agama keberadaannya di Indonesia secara yuridis diakui sebagai lembaga Peradilan dan masuk dalam tata hokum Hindia Belanda dengan dikeluarkannya surat keputusan Raja Belanda No.24 tertanggal 19 Januari 1882, dengan Staatsblaad 1882 No. 152 yakni tentang pembentukan Peradilan Agama di daerah Jawa dan Madura dalam bahasa Belanda “bepalingbetraffenda priesterande op Java en Madura”. Kemudian mulai saat inilah Peradilan Agama di Indonesia terus diperhatikan dan diikuti terus akan perkembangannya oleh pemerintah Hindia Belanda. Bahkan hingga Indonesia merdeka terus diupayakan birokrasi-birokrasi terhadap Peradilan Agama di Indonesia. Perbedaan penapat tentang penetapan awal sejarah Peradilan Agama ini, oleh Daniel S. Lev dinilai bahwa hal tersebut disebabkan oleh adanya situasi para cendikiawan muslim dan kaum cerdik pandai menganggap remeh terhadap sejarah Islam, karena dianggap sebagai sisa-sisa masa lalu. Akibatnya Peradilan Agama yang memiliki sejarah yang cukup panjang terlewatkan oleh ilmu pengetahuan, penelitian terhadap Peradilan Agama di masa lalu ada sedikit yang terlewatkan (Daniel S. Lev, 1980: 11).

Para pakar dan ahli hukum sejarah sepakat mengakui bahwa Peradilan Agama di Indonesia sudah ada sejak Islam masuk ke bumi Indonesia pada abad ke VII Masehi atau abad pertama hijriyah, hokum Islam berkembang bersama-sama dengan Hukum adat dengan erat sehingga satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan karena saling kait mengait. Adapun politik hukum Hindia Belanda yang berkembang kemudian adalah, adanya isu tentang terjadinya konflik antara hokum Islam dengan hokum adapt yang pada intinya konflik ini dengan sengaja dibesar-besarkan oleh para ahli hokum adat di Indonesia, seperti: B. Ter Haar, Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje (Mohammad Daud Ali, 1990: 204).

Keadaan yang demikian ini memberikan sesuatu kesan pada para sarjana dan ahli hukum adat, seolah-olah hukum Islam atau Peradilan Agama di Indonesia merupakan bentuk Peradilan yang pada intinya tidak dapat diterima oleh adat dan masyarakat Indonesia dan tidak bias menerima pluralisme hukum (Ditbinbapera, 1985: 3).

Sejarah perkembangan Peradilan Agama sejak zaman penjajahan colonial Belanda hingga sekarangdan tugas serta wewenangnya yang mengalami pasang surut, perkembangan Peradilan Agama mulai diperhatikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1808 dengan dikeluarkan instruksi dari VOC di mana kepada pendeta (Ulama) diperbolehkan memutus suatu perkara-perkara tertentu, yaitu: Perkawinan, Waris, Perceraian, Pembagian Harta Warisan berdasarkan hukum agama (Islam). Secara yuridis Peradilan Agama diakui oleh pemerintah Hindia Belanda dengan dikeluarkannya sebuah surat keputusan No. 24 tanggal 19 Januari Stb. 1882 No. 152 (Zaini Ahmad Noeh, dan Abdul Basit Adnan, 1983: 32-33).

Ada 7 (tujuh) buah pasal Stb. 1882 No. 152 tersebut yang menyangkut Peradilan Agama antara lain:
a. Di samping tiap-tiap landraad (Pengadilan Negeri) diadakan Peradilan Agama, yang mempunyai daerah hukum yang sama;
b. Pengadilan Agama terdiri atas penghulu yang diperbantukan pada landraad sebagai ketua dan sedikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 8 (delapan) ulama Islam sebagai anggota;
c. Pengadilan Agama tidak boleh mengambil keputusan jika tidak ada sedikitnya 3 (tiga) orang anggota, termasuk ketuanya hadir, dalam keadaan perimbangan suara, maka ketua yang menentukan;
d. Keputusan-keputusan Pengadilan Agama harus dinyatakan dalam surat yang memuat pertimbangan-pertimbangan dan alas an secara singkat serta ditandatangani oleh anggota-anggota yang hadir, begitu pula dicatat biaya perkara yang dibebankan kepada yang berperkara
e. Kepada kedua belah pihak yang berperkara harus diberikan salinan surat keputusan yang ditandatangani oleh ketua;
f. Keputusan-keputusan Pengadilan Agama yang melampaui batas kekuasaannya atau tidak memenuhi ketentuan ayat (2), (3), dan (4) di atas tidak dapat dinyatakan berlaku (Zaini Ahmad Noeh, dan Abdul Basit Adnan, 1983: 33).

Terhadap Stb. 1882 No. 152 ahli hukum bersepakat bahwa hal tersebut merupakan hasil tersebut merupakan hasil dari teori “Receptio In Complexu” oleh Van Den Berg. Keberadaan Peradilan Agama mulai digugat ketika lahirnya teori hukum adat oleh Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje yang kemudian teori tersebut dikenal dengan sebutan “Receptietheori”, akibat dari teori tersebut kemudian pemerintah Hindia Belanda meninjau kembali Peradilan Agama di Indonesia. Stb. 1882 No. 152 dinyatakan sebagai suatu kesalahan dari pemerintah Hindia Belanda yang mengakui dan bahkan diberi landasan hukum bagi terbentuknya Peradilan Agama.

Stb. Tahun 1907 No. 204, Stb. 1919 yang mengandung inti di dalam kedua Stb. Tersebut adalah kata-kata “Memperlakukan Undang-undang Agama” kemudian diubah menjadi kata-kata yang lebih lazim “memperhatikan” (Noto Susanto, 1975: 5).
Dan Stb. terakhir Tahun 1937 dengan dikeluarkannya Stb. 1937 No. 638 jo. 639 mengenai dibentuknya Peradilan Agama di Kalimantan.

Peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Hindia belanda sampai Indonesia merdeka masih tetap berlaku. Peraturan-peraturan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Staatsblad 1882 No. 152, yang menurut penetapan Raja Belanda untuk mengatur Peradilan Agama di Jawa dan Madura, penetapan ini telah diubah dan ditambah terutama dengan Staatsblad 1937 No. 116 dan Staatsblad 1937 No. 610.
b. Staatsblad 1937 No. 638, dan 639 yang memuat ordonasi untuk mengatur Peradilan
Agama di sebagian di Kalimantan Selatan (Noto Susanto, 1975: 27).

Setelah Indonesia merdeka maka dasar yuridis Peradilan Agama dikuatkan dengan beberapa Undang-undang dan beberapa peraturan pemerintah disamping dasar hukum yang telah dikuatkan dan disebutkan. Perundang-undangan inilah yang kemudian menunjukkan keberadaan Peradilan Agama secara eksis di Indonesia, masing-masing adalah:
a. Perundang-undangan dan peraturan;
1) Dekrit Presiden.
2) Aturan Presiden No. 2 Tanggal 10 Oktober 1945, segala bentuk badan-badan Negara masih berlaku selama belum ada perubahan dan tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.
3) Keputusan Pemerintah No. 1 Tahun 1946 tentang pembentukan Departemen Agama.
4) Undang-undang No. 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talaq, dan rujuk.
5) Undang-undang No. 22 Tahun 1952 peraturan tentang kemungkinan hilangnya surat putusan dan surat-suratpemeriksaan pengadilan.
6) Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang penetapan berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1946.
7) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok-pokok kehakiman. Kemudian dari Undang-undang inilah para pakar hukum mengatakan bahwa Peradilan Agama keberadaannya semakin kuat karena telah masukdalam Tata Hukum di Indonesia.
8) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
9) Undang-undang No. 14 Tahun 1975 tentang mahkamah Agung.
10) Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

b. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yaitu PP No. 27 Tahun 1960 tentang uang honorarium dan juru sumpah.

c. Ketetapan Pemerintah.
1) No. 1/1945 s/d Tahun 1946 tentang mengadakan Departemen Agama dan balai Pemuda yang menjadi Departemen Sosial.
2) No. 5/1945 s/d Tahun 1946 tentang Mahkamah Islam Tinggi bagian Kementrian Kehakiman dipindahkan ke Menteri Agama (Abdul Gani Abdullah, 1991: 9).

d. Peraturan Pemerintah.
1) No. 10 Tahun 1947 tentang sumpah jabatan Hakim, Jaksa, Panitera, dan Panitera Pengganti.
2) No. 19 Tahun 1947 menambah Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1947.
3) No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah untuk luar Jawa dan Madura, dan sebagian luar Kalimantan Selatan (Djamil Latif, 1983: 13).
4) No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang Perkawinan.
5) No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
6) No. 10 Tahun 1983 tentang izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
7) No. 45 Tahun 1990 tentang izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983.

e. Keputusan Presiden
1) No. 18 Tahun 1977 tentang tunjangan jabatan Hakim pada Peradilan Agama.
2) No. 17 Tahun 1985 tentang Organisasi kepaniteraan atau Sekretariat Jendral Mahkamah Agung.

f. Peraturan Mahkamah Agung
1) No. 1 Tahun 1980 tentang peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
2) No. 1 Tahun 1982 tentang Peraturan Mahkamah Agung.

g. Keputusan Bersama
Ketua Mahkamah Agung RI, Menteri Agama RI, dan Menteri Kehakiman RI: KMA/010/SKB/II/1988 tentang tata cara bantuan tenaga Hakim untuk lingkungan Peradilan Agama dan latihan jabatan bagi Hakim serta Panitera Pengadilan Agama.

h. Keputusan Ketua Mahkamah Agung
No. KMA/013/SK/III/1988 tentang pola pembinaan dan pengendalian administrasi perkara Peradilan Agama.

i. Peraturan Menteri Agama RI.
1) No. 1 Tahun 1952 tentang Wali Hakim
2) No. 4 Tahun 1952 tentang Wali Hakim untuk Jawa dan Madura
3) No. 1 Tahun 1978 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977

j. Penetapan Pemerintah
1) No. 5 Tahun 1952 tentang Pembentukan Kembali Peradilan Agama Bangil
2) No. 58 Tahun 1957 tentang Pembentukan Kembali Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah di Sumatra
3) No. 4 Tahun 1958 tentang Pembentukan kembali Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Kalimantan
4) No. 5 Tahun 1958 tentang Pembentukan Kembali Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Barat.
5) No. 25 Tahun 1958 tentang Pembentukan cabang kantor Peradilan Agama/Mahkamah Syari’ah di Tanjung Karang untuk daerah Lampung Utara dan Kota Bumi.

k. Keputusan Menteri Agama RI
1) No. 23 Tahun 1966 tentang pembentukan kantor Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah (Sumatra, Nusa Tenggara, Kalimantan dan Maluku).
2) No. 61 Tahun 1961 tentang pembentukan cabang kantor Peradilan Agama cabang Jawa dan Madura.
3) No. 62 Tahun 1961 tentang pembentukan cabang kantor Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah untuk Aceh dan Padang.
4) No. 85 Tahun 1961 tentang Pengakuan Badan Penasehat Perkawinan Penyelesaian Perceraian (BP4)
5) No. B/IV/2/5593/1966 tentang peleburan badan Hakim syara’pada dewan Adat Maluku, Ternate kedalam Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah
6) No. 87 Tahun 1966 tentang Penambahan Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di daerah tingkat II Sulawesi dan Maluku.
7) No. 4 Tahun 1967 tentang perubahan kantor-kantor Peradilan Agama untuk daerah khusus Jakarta (Abdul Gani Abdullah, 1991: 11).

No comments:

Post a Comment